Sang Pecinta dan Yang Dicinta
Minggu, Maret 23, 2014Ketika cinta mempedulikan cintanya, saat itu yang-dicinta menerima perhatian. Dengan begitu, mahligai percintaannya tercipta. Nyaman. Sejuk. Betah. Semua dibangun tanpa gambar kerja, tanpa rencana, tanpa perancang. Mata hanya mengerti indah. Lidah hanya mengerti manis. Kulit hanya mengerti lembut. Telinga hanya mengerti merdu. Hidung hanya mengerti wangi. Hati hanya mengerti bahagia. Ini lena maligainya.
Namun lihat ketika sang pecinta khawatir terhadap yang-dicinta. Yang-dicinta bermanja, merajuk, atau malah terkadang memaksa diberi perhatian dari sang pecinta. Yang-dicinta pun menangis pada sang pecinta. Menguak ketakutannya sendiri pada apa yang dipikirnya akan terjadi. Siapa yang menenangkannya selain sang pecinta? Tak ada. Hanya sang pecinta yang hadir ketika yang-dicinta sedang sendiri dan membutuhkan sandaran. Selain itu, yang-dicinta hanya bisa bertumpu pada kusen jendela menatap warna warni pelangi yang mengolok-oloknya karena berdiam di kamar yang lembab nan gelap dan hanya bergradasi dari putih ke hitam. Hidup bermonokrom tanpa sang pecinta. Sang pecinta yang mewarnainya. Selalu. Kapan saja. Dimana saja. Bagaimanapun keadaan yang-dicinta. Satu-satunya yang rela menjadi tong sampah kertas tisu berlendir tangis.
Waktu demi waktu berlalu dengan segala kondisi yang mulai stabil. Yang-dicinta mulai sembuh dari kesakitannya yang selama ini membuatnya tak sanggup untuk berdiri sendiri. Dengan sandaran sang pecinta, ia duduk. Dengan papahan sang pecinta, ia berjalan. Dengan jemari sang pecinta, ia makan. Setelah itu, ia lupa.
Sang pecinta menjadi tempat bersandar baginya bukan untuk dipunggungi. Sang pecinta memapah bukan untuk ditinggal. Sang pecinta menyuap bukan untuk dimangsa. Tapi apa yang terjadi? Yang-dicinta menghabisinya lalu pergi meninggalkan bekas tanpa alasan apapun. Kopi mengendap didasar gelas. Tebu berserak tanpa sari. Mayat menggeletak tanpa daging. Rona merah pada hati sang pecinta tersedot habis hingga menghitam.
Sang Pecinta, dan Yang-Dicinta. Apa kau sadar antara mereka berdua ini adalah cinta satu arah? Mereka bukan sesama pecinta. Bukan saling mencinta. Mereka tidak saling datang dari ujung menuju tengah pertemuan. Aku anggap sang pecinta memiliki cinta buta, jika ia mengerti apa itu cinta. Aku anggap yang-dicinta tak menghargai keberadaan cinta, jika ia paham bagaimana rasa cinta menguasai tindakan.
Cinta satu arah.
Akhirnya hanya akan menimbulkan pertanyaan klasik,
"Mana yang kau pilih? Yang mencintaimu, atau yang kamu cintai?"
Untuk Chintya,
yang mencinta dengan cinta
yang ditinggalkan tanpa cinta
yang sesak karena cinta
yang sakit hati diusir cinta
Dwindown, 2014
0 comments