TGSL : Bencong Bisa Jadi Teladan

Kamis, Maret 06, 2014

Siapa yang gak geli kalau ketemu dengan bencong? Iya, bencong. Pengamen ewer-ewer yang selalu patroli keliling tempat makan demi ngamen apa adanya untuk sekedar 1000-2000 rupiah dari orang yang geli dengan keberadaannya.

sumber gambar : http://curutjantan1806.files.wordpress.com/2011/06/tibascong.jpg

Mungkin udah rahasia umum kali ya kalau bencong ini cuma melambai waktu gelap. Giliran hari terang benderang, mereka berprofesi sebagai kuli bangunan, narik becak, bahkan KULIAH. Jangan salah lho, bencong-bencong yang ngamen itu memang ada berprofesi sebagai mahasiswa kalau matahari sedang berkuasa. Ada apa dengan cara ngamen ini? Apa gak bisa biasa aja dengan bawa gitar dan nyanyi seperti sewajarnya?


Profesi bencong yang membawa alat musik tutup botol yang biasa kita sebut kecrekan ini, sebenarnya bukan pengamen. Mereka tidak menjual keindahan suara. Tidak juga menjual keindahan lirik atau sajak. Mereka mendapat uang bukan dari hasil "menjual", tapi dengan membuat risih orang-orang yang sedang makan. Terutama cowok-cowok yang takut atau geli dengan bencong.

Kalau saja kita mau melihat lebih seksama dan memperhatikan lebih dalam lagi, banyak lho hal positif yang bisa kita tiru dari para bencong jalanan ini.

Hidup Hemat

Dengan penghasilan yang dikumpulkan dari recehan uang koin dan uang kertas lecek, mereka masih sanggup beli alat kosmetik, pakaian wanita (dari kostum sampai stocking), parfum, dan lain-lain. Ini membuktikan bahwa mereka sanggup hidup hemat demi membiayai modal kerja yang cukup mahal sebagai cowok melambai. Ini kalau memang mereka hanya nyanyi-nyanyi kecrek-kecrek aja ya. Gue gak tau deh kalau bencong yang mangkal dan ngikut om-om homo lalu dibayar mahal, mungkin itung-itungannya beda lagi.

Percaya Diri

Mereka gak gentar dengan istilah "ketahuan" oleh orang-orang yang mengenal dia diprofesi siang. Lanjut aja kerja godain para cowok yang sedang makan. Mereka seakan yakin dengan make up yang mereka gunakan benar-benar menyamarkan identitasnya dari profesi siangnya. Bayangkan, seorang mahasiswa yang menjadi bencong ketika malam, nyamperin godain cowok yang lagi makan yang ternyata itu teman kuliahnya. Pasti heboh tu kampusnya. Hahahaha. Mereka bencong, dan mereka percaya diri. Salut!

To the MAX

Para bencong ini, awalnya memang cuma ngamen. Tapi kalau yang digodain gak takut atau risih juga, dan belum juga ngasih duit, mereka gak segan-segan buat colak-colek lho. Bahkan teman gue ada yang sampai dipeluk segala. Hahahahaha. Bisa bayangin dong seberapa panik teman gue? Gue juga pernah disamperin sama bencong yang beda metode. Ketika gue dan teman-teman gue gak ngasih duit demi suara dia yang sok merdu itu, dia nantangin "Kamu bayar aku ya kalau aku berhasil kayang!" Nah lhooooo, seberapa pengen sih lo buat liatin bencong dalam posisi kayang? 

Konsisten

Yoi Sob. Mereka benar-benar konsisten dengan profesi malam ini. Entah ya kalau ternyata jadi bencong itu sesuatu yang bisa bikin kecanduan, gue gak tau. Yang jelas, saking konsistennya, dunia perbencongan kayaknya ada sistem teritori juga. Gue pernah perhatikan kalau gue makan di tempat A, gue selalu liat bencong-bencong yang sama. Ketika makan di tempat B, bencongnya beda, tapi memang sebelumnya gue liat tu bencong di tempat makan B. Ini bukti mereka memang bermain teritori.

Meningkatkan Mutu

Mutu yang gue maksud bukan tentang kualitas suara atau apapun, melainkan mereka meningkatkan kadar kewanitaan mereka. Selain membiayai kosmetik dan blablabla, mereka bahkan sanggup membiayai operasi plastik pada tubuh mereka. Contohnya ya dagu, ya pipi, ya hidung, dan yaaaaa payudara juga. Kosmetik sih bisa dihapus dengan cuci muka, tapi kalau operasi plastik? Permanen lho.

Bagaimanapun juga, rata-rata mereka yang jadi bencong karena terdesak keadaan. Mereka terjebak dihidup yang serba kekurangan. Dengan menjadi bencong, mereka mendapatkan penghasilkan yang lumayan walaupun jumlahnya tidak pasti setiap harinya. Sayangnya, mereka ketagihan dengan kondisi ini. Mereka bukannya mengumpulkan uang untuk usaha (buka warung atau toko misalnya) malah memodali lebih banyak untuk berprofesi sebagai bencong. Efeknya apa? Awalnya mungkin dia memang lelaki sejati dengan wibawa yang mumpuni. Lalu menjadi bencong demi mendapatkan uang. Setelah kelamaan jadi bencong, malah ujung-ujungnya kebiasaan melambai. Hilanglah wibawanya. Bahkan hilang juga kejantanannya. Bisa jadi awalnya bencong ngamen, ujung-ujungnya bencong mangkal yang nungguin om-om stres.

"Setiap profesi pasti berefek samping pada kejiwaan seseorang.
Terpaksa maka bisa, bisa maka biasa, biasa maka menjiwa."
Dwindi, 2014

You Might Also Like

0 comments