Politik Hutan
Minggu, Juni 29, 2014
Hutan ini semakin lama memang semakin terang. Rimbunan dedaunan yang berkurang setiap tahun. Tidak imbang dengan pertumbuhannya. Kondisi seperti ini membuat hutan menjadi semakin transparan. Terlihat kerumunan antelop yang sedang bergosip dengan para rusa tentang calon pemimpinnya.
"Pilih singa atau gajah?" Tanya salah satu antelop sambil mengunyah makanannya.
"Apa kekurangan dan kelebihannya? Aku masih belum tahu mau memilih yang mana." Jawab rusa sambil mengerik kulit pohon menggunakan tanduknya.
Percakapan berlanjut dengan topik apa yang dilakukan singa dan gajah selama ini.
"Pilih singa atau gajah?" Tanya salah satu antelop sambil mengunyah makanannya.
"Apa kekurangan dan kelebihannya? Aku masih belum tahu mau memilih yang mana." Jawab rusa sambil mengerik kulit pohon menggunakan tanduknya.
Percakapan berlanjut dengan topik apa yang dilakukan singa dan gajah selama ini.
Singa. Setiap ada kesempatan selalu memangsa yang lemah. Mengejar, menangkap, mencabik lalu menelan daging mangsanya. Antelop dan rusa bergidik. Ngeri membayangkannya. Itu saja baru satu. Singa-singa betina yang mencari mangsa, singa jantan yang sok jagoan namun pemalas lah yang kenyang. Singa jantan, pemimpin kelompok itu, tidak melakukan apa-apa selain menunggu jatah perutnya. Sial. Yang seperti ini mau memimpin hutan, jangan-jangan nanti warga hutan yang tak berdaya disuruh menyerahkan diri untuk dimangsa secara periodik.
Gajah. Gajah memang tidak akan memakan warga hutan mana pun. Gajah sering mengenyahkan batang pohon yang tumbang karena angin dan menghalangi jalan, pula menutupi tanah untuk ditumbuhi rumput baru. Dari satu hal ini saja, warga hutan sudah bisa melihat bahwa gajah mampu menolong warga lemah. Tidak hanya hewan, namun tumbuhan juga. Gajah berkeliling hutan untuk berpatroli bersama kawanannya.
Kontradiksi antara singa dan gajah ini terlalu jauh. Singa jantan hanya diam ditempat, menunggu jatah perutnya, sedangkan gajah tidak bisa berdiam diri melihat lingkungannya berantakan. Ada satu persamaan antara keduanya. Kawanan. Jelas, tidak seluruhnya isi kawanan itu sepikiran dengan pemimpinnya. Pasti ada pemberontak atau pengkhianat. Pemberontak akan memperlihatkan tingkah laku yang berlawanan dengan visi misi sang pemimpin kelompok secara vulgar, sedangkan pengkhianat diam-diam.
Ular kobra datang. Tiba-tiba menyemprotkan ludah beracunnya kearah kerumunan antelop. empat ekor antelop kejang-kejang. Mulutnya berbusa. Rusa panik dan berseru dengan nada marah.
"Hey, apa yang kau lakukan?" Tanya rusa.
"Diam kau. Sebelum aku membunuhmu juga." Jawab ular.
Herannya, antelop-antelop itu tidak langsung ditelan oleh ular, seperti biasanya. Melainkan memanggil teman-temannya dari spesies ular yang lain untuk melilitnya dan menyeret mayat antelop tadi bersama-sama.
"Mau dibawa kemana kawanku itu?" Tanya antelop yang lain.
"Calon pemimpin kami sedang kelaparan dan menunggu di padang rumput yang gersang di tepian hutan. Antelop ini untuk memberi pemimpin kami tenaga, agar tetap bisa mengaum kembali menertibkan hutan yang busuk ini." Jawab ular kobra tadi.
"Tapi kalian tidak bisa seenaknya begitu. Kalian..."
Roar!!
Belum selesai kalimat panik rusa, kini datang 5 ekor singa betina dengan wajah bringas. Para antelop dan rusa melompat secara random kearah lekukan tanah dan semak-semak. Menjaga jarak dari binatang-binatang buas itu. Para ular, spesies apapun, langsung berbaris. Muka mereka terlihat khawatir. Mungkin khawatir akan dicabik-cabik, meskipun singa tidak memangsa ular.
"Mana jatah pemimpin kami? Dia sudah mengaum marah karena kalian terlalu lama membuatnya menunggu." ujar singa betina yang berdiri paling depan.
"Maaf karena terlalu lama. Kami dari tadi mencari keliling hutan. Ternyata mereka sedang berkumpul dan bergosip disini. Ini kami sudah menyiapkan empat ekor antelop untuk Paduka dan kawan-kawan." jawab kobra sambil menundukkan kepala pipihnya.
Para antelop dan rusa bergidik, membayangkan antelop-antelop yang baru saja meregang nyawa itu akan dicabik-cabik. Dipisahkan antara kulit, daging dan tulangnya. Singa-singa betina itu melihat mayat empat ekor antelop naas itu, lalu pergi setelah menyuruh para ular segera membawanya kehadapan singa jantan yang kini sudah mengamuk. Ular menurut.
Belum hilang keterkejutan mereka, datang seekor hyena yang menyergap rusa. Rusa terjerembab ke tanah lalu diinjak-injak oleh hyena yang lain. Ternyata hyena juga datang bersama kawanannya.
"Sepertinya cukup untuk kawanan kita." Gumam hyena yang tadi bersolo karir.
Para antelop dan para rusa kini panik dan diselimuti rasa takut yang kronis. Mereka bersembunyi dibalik rimbunan semak yang tinggi, merendahkan badan dengan menekukkan kaki-kaki kurus mereka. Jangankan memprotes tindakan hyena, menunjukkan eksistensi saja tidak berani. Ketakutan sudah tak terbendung lagi. To the max.
"Bos, yakin kita membela gajah?" Tanya kawanannya.
"Jelas, kalau gajah yang menjadi pemimpin, dia tidak akan memangsa warga hutan ini. Jatah kita akan semakin banyak. Singa-singa tidak akan eksis dan sok jago lalu menghabiskan semua persediaan makanan kita. Memilih gajah sebagai pemimpin, itu yang paling tepat untuk kita. Hehehehe." Jawab si bos hyena sambil terkekeh-kekeh.
'Terbukti, memilih gajah bukan berarti mendapat kenyamanan. Masih ada yang akan memangsa kita semua sekalipun gajah itu memakan tumbuhan.' para saksi mata membatin.
Yap, saksi mata. Singa-singa betina, ular kobra dan ular-ular lain, serta para hyena ini, tidak menyadari warga-warga hutan lainnya memperhatikan tingkah mereka. Mereka jelas tidak memperhatikan amphibi kecil yang berdiam diatas daun mengapung di genangan air. Mereka jelas tidak mendongak kearah dahan-dahan yang diduduki para primata dibalik dedaunan yang menipis. Mereka jelas tidak sadar banyak bunglon yang bermimikri dengan warna batang, daun, rumput, dan tanah. Mereka pun jelas tidak mampu melihat insekta yang terlalu kecil di ujung-ujung ilalang dan ranting. Mereka juga lupa masih ada unggas yang bertengger dan terbang diatas mereka.
Binatang-binatang buas, picik dan berkoalisi ini lupa bahwa masih banyak mata yang bisa menilai pemimpin mana yang jelas terbaik untuk warga hutan. Bertingkah seenaknya seakan tak ada yang memperhatikan dan menilai. Mereka lupa doa-doa makhluk teraniaya akan cepat terkabul bisa terpanjatkan dengan hati yang lirih dan ketakutan yang luar biasa.
"Tuhan, beri kami pemimpin yang terbaik. Jauhkan kami dari rasa cemas, takut, tidak tenang, dan kesengsaraan. Kami butuh hidup tenang. Kami butuh hutan yang asri. Kami menginginkan pemimpin yang membuat kami nyaman dan aman. Jika Kau berkenan ya Tuhan, matikan para pemimpin yang tidak pantas, lalu munculkan pemimpin yang terbaik. Angkatlah pemimpin terbaik untuk kami."
Doa dipanjatkan oleh makhluk yang berbeda-beda ukuran dan bentuk, spesies, dan tingkah laku. Mereka berharap. Mereka berdoa. Mereka meminta. Setidaknya ini yang bisa mereka lakukan sambil menunggu waktu pemilihan tiba. Doa ini mungkin akan terkabul. Salah satu calon pemimpin yang busuk akan mati. Atau kebusukan yang berada dibalik para calon pemimpin lah yang mati.
Ketika waktu pemilihan tiba, akan ada satu jiwa yang memimpin hutan ini. Semua warga hutan ini punya hak untuk memilih. Yang terpilih bukan berarti yang terbaik. Yang terbaik belum tentu terpilih. Bila nanti Sang Terpilih tidak mampu menjadi Terbaik, mungkin hutan ini akan terbakar seutuhnya. Sesungguhnya, warga hutan tidak semuanya lemah. Ketakutan mereka adalah kekuatan terbesar yang akan menggerakkan badan mereka untuk bersama-sama merusak hutan ini karena dilandasi kekecewaan pada pemimpinnya.
Yang satu Singa, yang satu lagi Gajah. Jangan lupa didalam hutan masih ada Serigala, Gorila, Beruang dan binatang buas lain yang mampu memusnahkan sekawanan Singa dan Gajah. Mereka kini diam. Sampai nanti terpilih satu pemimpin dan pemimpin itu mengusik mereka, disanalah kepunahan sebuah kepemimpinan. Hutan ini akan kembali menganut hukum alam. Tidak ada lagi koordinasi, tidak ada lagi birokrasi, tidak ada lagi toleransi. Hukum alam, yang terkuat yang bertahan. Hukum alam, yang terkuat yang bisa makan. Hukum alam, alternatif hukum terakhir yang mengatur keseimbangan alam. Kepelikan ini akan berlangsung hingga nanti akhirnya muncul pemimpin baru yang mampu mengondisikan hutan ini menjadi lebih baik lagi.
Tuhan pasti tahu mana calon pemimpin yang terbaik. Tuhan tahu isi hati mereka. Tuhan tahu niat mereka. Tuhan mampu mematikan mereka kapanpun. Dan tenanglah, Tuhan tidak akan berpaling dari makhluknya yang tertindas dan teraniaya. Saatnya memilih pemimpin dengan rasa pasrah diri pada Tuhan. Biar Tuhan yang mengatur semuanya.
Gajah. Gajah memang tidak akan memakan warga hutan mana pun. Gajah sering mengenyahkan batang pohon yang tumbang karena angin dan menghalangi jalan, pula menutupi tanah untuk ditumbuhi rumput baru. Dari satu hal ini saja, warga hutan sudah bisa melihat bahwa gajah mampu menolong warga lemah. Tidak hanya hewan, namun tumbuhan juga. Gajah berkeliling hutan untuk berpatroli bersama kawanannya.
Kontradiksi antara singa dan gajah ini terlalu jauh. Singa jantan hanya diam ditempat, menunggu jatah perutnya, sedangkan gajah tidak bisa berdiam diri melihat lingkungannya berantakan. Ada satu persamaan antara keduanya. Kawanan. Jelas, tidak seluruhnya isi kawanan itu sepikiran dengan pemimpinnya. Pasti ada pemberontak atau pengkhianat. Pemberontak akan memperlihatkan tingkah laku yang berlawanan dengan visi misi sang pemimpin kelompok secara vulgar, sedangkan pengkhianat diam-diam.
Ular kobra datang. Tiba-tiba menyemprotkan ludah beracunnya kearah kerumunan antelop. empat ekor antelop kejang-kejang. Mulutnya berbusa. Rusa panik dan berseru dengan nada marah.
"Hey, apa yang kau lakukan?" Tanya rusa.
"Diam kau. Sebelum aku membunuhmu juga." Jawab ular.
Herannya, antelop-antelop itu tidak langsung ditelan oleh ular, seperti biasanya. Melainkan memanggil teman-temannya dari spesies ular yang lain untuk melilitnya dan menyeret mayat antelop tadi bersama-sama.
"Mau dibawa kemana kawanku itu?" Tanya antelop yang lain.
"Calon pemimpin kami sedang kelaparan dan menunggu di padang rumput yang gersang di tepian hutan. Antelop ini untuk memberi pemimpin kami tenaga, agar tetap bisa mengaum kembali menertibkan hutan yang busuk ini." Jawab ular kobra tadi.
"Tapi kalian tidak bisa seenaknya begitu. Kalian..."
Roar!!
Belum selesai kalimat panik rusa, kini datang 5 ekor singa betina dengan wajah bringas. Para antelop dan rusa melompat secara random kearah lekukan tanah dan semak-semak. Menjaga jarak dari binatang-binatang buas itu. Para ular, spesies apapun, langsung berbaris. Muka mereka terlihat khawatir. Mungkin khawatir akan dicabik-cabik, meskipun singa tidak memangsa ular.
"Mana jatah pemimpin kami? Dia sudah mengaum marah karena kalian terlalu lama membuatnya menunggu." ujar singa betina yang berdiri paling depan.
"Maaf karena terlalu lama. Kami dari tadi mencari keliling hutan. Ternyata mereka sedang berkumpul dan bergosip disini. Ini kami sudah menyiapkan empat ekor antelop untuk Paduka dan kawan-kawan." jawab kobra sambil menundukkan kepala pipihnya.
Para antelop dan rusa bergidik, membayangkan antelop-antelop yang baru saja meregang nyawa itu akan dicabik-cabik. Dipisahkan antara kulit, daging dan tulangnya. Singa-singa betina itu melihat mayat empat ekor antelop naas itu, lalu pergi setelah menyuruh para ular segera membawanya kehadapan singa jantan yang kini sudah mengamuk. Ular menurut.
Belum hilang keterkejutan mereka, datang seekor hyena yang menyergap rusa. Rusa terjerembab ke tanah lalu diinjak-injak oleh hyena yang lain. Ternyata hyena juga datang bersama kawanannya.
"Sepertinya cukup untuk kawanan kita." Gumam hyena yang tadi bersolo karir.
Para antelop dan para rusa kini panik dan diselimuti rasa takut yang kronis. Mereka bersembunyi dibalik rimbunan semak yang tinggi, merendahkan badan dengan menekukkan kaki-kaki kurus mereka. Jangankan memprotes tindakan hyena, menunjukkan eksistensi saja tidak berani. Ketakutan sudah tak terbendung lagi. To the max.
"Bos, yakin kita membela gajah?" Tanya kawanannya.
"Jelas, kalau gajah yang menjadi pemimpin, dia tidak akan memangsa warga hutan ini. Jatah kita akan semakin banyak. Singa-singa tidak akan eksis dan sok jago lalu menghabiskan semua persediaan makanan kita. Memilih gajah sebagai pemimpin, itu yang paling tepat untuk kita. Hehehehe." Jawab si bos hyena sambil terkekeh-kekeh.
'Terbukti, memilih gajah bukan berarti mendapat kenyamanan. Masih ada yang akan memangsa kita semua sekalipun gajah itu memakan tumbuhan.' para saksi mata membatin.
Yap, saksi mata. Singa-singa betina, ular kobra dan ular-ular lain, serta para hyena ini, tidak menyadari warga-warga hutan lainnya memperhatikan tingkah mereka. Mereka jelas tidak memperhatikan amphibi kecil yang berdiam diatas daun mengapung di genangan air. Mereka jelas tidak mendongak kearah dahan-dahan yang diduduki para primata dibalik dedaunan yang menipis. Mereka jelas tidak sadar banyak bunglon yang bermimikri dengan warna batang, daun, rumput, dan tanah. Mereka pun jelas tidak mampu melihat insekta yang terlalu kecil di ujung-ujung ilalang dan ranting. Mereka juga lupa masih ada unggas yang bertengger dan terbang diatas mereka.
Binatang-binatang buas, picik dan berkoalisi ini lupa bahwa masih banyak mata yang bisa menilai pemimpin mana yang jelas terbaik untuk warga hutan. Bertingkah seenaknya seakan tak ada yang memperhatikan dan menilai. Mereka lupa doa-doa makhluk teraniaya akan cepat terkabul bisa terpanjatkan dengan hati yang lirih dan ketakutan yang luar biasa.
"Tuhan, beri kami pemimpin yang terbaik. Jauhkan kami dari rasa cemas, takut, tidak tenang, dan kesengsaraan. Kami butuh hidup tenang. Kami butuh hutan yang asri. Kami menginginkan pemimpin yang membuat kami nyaman dan aman. Jika Kau berkenan ya Tuhan, matikan para pemimpin yang tidak pantas, lalu munculkan pemimpin yang terbaik. Angkatlah pemimpin terbaik untuk kami."
Doa dipanjatkan oleh makhluk yang berbeda-beda ukuran dan bentuk, spesies, dan tingkah laku. Mereka berharap. Mereka berdoa. Mereka meminta. Setidaknya ini yang bisa mereka lakukan sambil menunggu waktu pemilihan tiba. Doa ini mungkin akan terkabul. Salah satu calon pemimpin yang busuk akan mati. Atau kebusukan yang berada dibalik para calon pemimpin lah yang mati.
Ketika waktu pemilihan tiba, akan ada satu jiwa yang memimpin hutan ini. Semua warga hutan ini punya hak untuk memilih. Yang terpilih bukan berarti yang terbaik. Yang terbaik belum tentu terpilih. Bila nanti Sang Terpilih tidak mampu menjadi Terbaik, mungkin hutan ini akan terbakar seutuhnya. Sesungguhnya, warga hutan tidak semuanya lemah. Ketakutan mereka adalah kekuatan terbesar yang akan menggerakkan badan mereka untuk bersama-sama merusak hutan ini karena dilandasi kekecewaan pada pemimpinnya.
Yang satu Singa, yang satu lagi Gajah. Jangan lupa didalam hutan masih ada Serigala, Gorila, Beruang dan binatang buas lain yang mampu memusnahkan sekawanan Singa dan Gajah. Mereka kini diam. Sampai nanti terpilih satu pemimpin dan pemimpin itu mengusik mereka, disanalah kepunahan sebuah kepemimpinan. Hutan ini akan kembali menganut hukum alam. Tidak ada lagi koordinasi, tidak ada lagi birokrasi, tidak ada lagi toleransi. Hukum alam, yang terkuat yang bertahan. Hukum alam, yang terkuat yang bisa makan. Hukum alam, alternatif hukum terakhir yang mengatur keseimbangan alam. Kepelikan ini akan berlangsung hingga nanti akhirnya muncul pemimpin baru yang mampu mengondisikan hutan ini menjadi lebih baik lagi.
Tuhan pasti tahu mana calon pemimpin yang terbaik. Tuhan tahu isi hati mereka. Tuhan tahu niat mereka. Tuhan mampu mematikan mereka kapanpun. Dan tenanglah, Tuhan tidak akan berpaling dari makhluknya yang tertindas dan teraniaya. Saatnya memilih pemimpin dengan rasa pasrah diri pada Tuhan. Biar Tuhan yang mengatur semuanya.
* * * * *
Dwindown, 2014
0 comments