Entah harus
berkata apa untuk mengawali postingan kali ini. Yang jelas tahun ini gue gak minat nulis karena saking banyaknya kejadian di Indonesia yang gak perlu terjadi tapi terjadi juga. Gatel mau komentarin semuanya, tapi gue gak ada waktu sebanyak kejadian yang terjadi. Bahkan gue nyaris menghapus eksistensi blog Perjalanan Menuju Gila ini.
Tapi sayangnya, dengan kejadian baru-baru ini, akhirnya jari-jari yang
menggatal setiap menyaksikan, membaca, menonton kejadian-kejadian yang ada di
Indonesia ini tak sanggup lagi gue tahan. Gue harus menggaruk jari-jari ini
diatas keyboard, lagi. Ada rasa bersalah, dengan keadaan ini gue masih berani
bergabung dengan Blogger Class yang dicetuskan oleh beberapa admin, yang salah
satunya adalah Bang Seno dan salah duanya adalah Bang Oji. Hai, Bro! Ini
pertama kalinya gue nyapa kalian di blog gue secara langsung ya. Hahaha.
Malam ini,
sekitar 1-2 jam lalu, Nyokap gue masuk ke ruang kerja gue (ruang garasi) dan
kemudian memberikan ponselnya yang sedang standby di situs gemarakyat.id. Gue
disuruh baca. Berita tentang Afi Nihaya Faradisa, begitu nama samaran yang
katanya dipakai untuk bisa menulis secara anonymously di dunia maya. Anak ini
lah yang tiba-tiba ngartis, diplomatis, politis dengan manis.
Ya.
Warisan. (yang katanya) Ditulis oleh Afi Nihaya Fadisa.
Tentu saja
bangga bila ada siswi yang belia namun memiliki pemikiran matang, setidaknya
begitu kata pembaca berita di Channel Youtube CNN ketika memberitakan tentang
Afi. Sebelum kita lanjut, gue memilih untuk kembali ke beberapa hari lalu. https://www.youtube.com/watch?v=_-ZGFPir6Aw
Awalnya, gue
gak begitu peduli tentang boomingnya Afi di media sosial. Gue udah lebih banyak menjadi silent reader di media sosial. Gue lebih berfokus pada karya apa yang bisa gue buat dan
mungkin bisa jadi proyekan untuk tetap terus berpenghasilan karena status gue freelance.
Akhirnya di
suatu malam, sebelum gue tidur, gue goler-goler di kasur sambil membaca tulisan
yang berjudul Warisan. Sekali membaca, penasaran, lalu mengulang sekali lagi
membaca naskahnya. Masih penasaran, gue baca postingan/ status-nya yang lain.
Tidak hanya
sampai di situ saja, gue melanjutkan membaca komentar-komentar yang ada di
statusnya yang berisi pujian, pujaan serta sanjuangan. Minoritas banget kalau
ada yang menentang. Berlanjut lagi gue buka berita tentang bagaimana keadaan
bocah perempuan ini sekarang. Alhamdulillah, banyak penghargaan dan apresiasi dari
banyak pihak-pihak bonafit. Semuanya UWAW buat gue. Tetap ini so amazing to be happened. Kenapa? Ya ntar terjawab. Biarkan gue lanjutin dulu
nulisnya. Hehehe.
Esok
harinya, Afi muncul di berita pagi (gue lupa channel apa), yang menjadi stimulus
bagi gue untuk sedikit membahas apa yang gue baca.
“Tulisan-tulisan
dia emang bagus, meaningful. Tapi
karena penulisnya bocah, jadi viral. Ya gitu jadinya. Lumayan lho udah ada
jaminan pendidikan tinggi, diundang sana sini.” Kata gue waktu itu ke Wendo,
adik gue.
Malam ini,
karena suggest post yang muncul di gemarakyat.id, gue baca kata “DRAMA DUGAAN
PLAGIASI TULISAN AFI”. WHAAAT???? Oke, gue jadi kepo soal plagiasi dan akhirnya
menelusuri apa yang terjadi. Agak kecewa, tapi tak ingin berlarut. Gue terus
membaca, menonton, menilai, membandingkan, dan yeah akhirnya jari-jari makin
gatal bila tidak mengetik untuk “menyuarakan” pikiran lewat tulisan, as what Afi claimed that she is doing as
well, terlepas gue pro atau kontra dengan isi tulisannya. Demi menulis ini,
gue numbalin kerjaan desain yang sudah gue rencanakan dari sebelum buka puasa
tadi. Jari gue terlanjur gatal dan mulai gue garuk pake tombol-tombol keyboard.
Syarat Terkenal di
Indonesia
Bikin
sesuatu yang aneh bin ajaib, terserah caranya oke atau nggak, yang penting
terpublish dengan baik serta banyak pendukung. Ketika ada keunikan dibalik itu,
gue jamin potensi viralnya kuat banget. Afi berhasil viral, walaupun dia
sendiri gak nyangka, karena citra yang terbangun adalah “siswi SMA mampu
menyampaikan isi pikirannya yang luar biasa dengan kemampuan menulis yang juga
luar biasa”. Asumsi gue, penulis (yang diberitakan karyanya diplagiat oleh Afi)
bernama Mita Handayani, viral tulisannya aja karena tujuannya memang untuk
berkarya dan hepi-hepi aja tulisannya di copas
sana sini oleh orang lain. Mita Handayani tidak viral secara personal, menurut gue, karena (1) Mita Handayani memang tidak ingin “muncul” (sesuai
kata-katanya yang ada di artikel-artikel berita yang gue baca), dan (2) Mita
Handayani usianya tidak se-belia Afi, yang jika ia menuliskan sesuatu yang luar
biasa, itu memang sudah seharusnya.
Untuk
menguji parameter ini, gue coba nyari profil Mita Handayani, siapa tau ada
informasi berapa usia beliau. Tapi gak ketemu. Akun yang bernama Mita Handayani
terlalu banyak. Sementara, gue puas dengan asumsi di atas. Dengan tulisan yang
sama, Afi viral karena dia belia dan sangat amazing
bila memiliki pemikiran dan kemampuan menulis seperti itu, sedangkan Mita
Handayani memang sudah seharusnya mampu berfikir dan menulis seperti itu.
Latah Buta
Bukan hanya
cinta yang bisa buta, di Indonesia (gue gak peduli di luar Indonesia seperti
apa) latahpun bisa buta. Kita sebut saja dengan istilah Latah Buta.
Ini salah
satu hal yang gue benci tapi terus terjadi dan menjadi karakter negeri ini.
Siapapun itu, hampir semuanya memiliki penyakit ini. Bisa jadi, gue juga.
Buktinya gue nulis tentang Afi. Hahahaha.
Yang ingin
gue sampaikan adalah ketika ada satu orang yang “sedikit” menonjol dan
(mungkin) menguntungkan suatu pihak tertentu, gue bisa pastikan dia bakal dapat
karir yang oke banget. Untuk membuktikannya, karena ini lagi bahas Afi, kita
lihat apa saja yang terjadi dengan Afi sejak tulisannya viral. Caranya gampang,
lihat saja FBnya, dan kalian bisa lihat foto-foto narsisnya dengan tokoh-tokoh
di negeri ini. Diundang sana sini, bahkan presiden pun mengundangnya. Terlebih
lagi, muncul gagasan untuk mengangkat Afi sebagai duta Pancasila. Luar biasa,
bukan?
Dari media
massa hingga pejabat (bahkan presiden!). Dari instansi pendidikan hingga
pemerintahan. Dari hadiah sekolah hingga hadiah universitas. Dari talkshow
hingga upacara negara. Undangan bicara tentang Pancasila, kebhinekaan, dan
lain-lain. Dimana salahnya? Gak ada yang salah sih. Itu gue sebut sebagai achievement yang telah Afi raih. Kalian
bisa menonton aksi-aksi Afi di Youtube, banyak kok.
Afi gak
salah, gue pikir. Karena yang salah adalah blow-up nya. Hahaha. Siapa yang
pertama mencetuskan anak ini bisa memberikan guideline? Sejauh yang gue dengar, dan gue lihat, konten omongan
Afi dalam talkshow itu global. Kenapa dia mendapatkan kesempatan untuk bicara?
Karena dia masih belia dan dianggap bijak. Gitu. Udah.
Pertanyaan
selanjutnya, kenapa Indonesia mau menghabiskan energi untuk hal yang
mubazir kayak gini? Kalau kalian ngerti bagaimana alur berfikir media dalam
memberitakan atau menayangkan konten, mungkin kalian tau jawabannya.
Kemungkinannya, bisa jadi untuk keuntungan media itu sendiri atau ada ‘pesanan’
pihak lain agar lebih diuntungkan.
Drama Plagiasi
Gue baru
ngerti jahatnya plagiasi itu seperti apa sejak gue mulai studi S2. Secara
singkat, ini plagiasi yang gue pahami > http://www.kompasiana.com/wardhanahendra/mengenal-ruang-lingkup-plagiasi-dan-copy-paste_552929ed6ea834c1748b458a.
Untuk
tulisan tanggal 25 Mei 2017 yang dipublikasikan oleh Afi, yaitu tulisan yang
berjudul Belas Kasih dalam Agama Kita, yang kemudian diberitakan sebagai karya copasan dari Mita Handayani.
Gue
menemukan sebuah artikel berita yang memuat kata-kata Mita Handayani tentang
Afi, yang justru mewakili Afi meminta maaf masyarakat. Afi dibela oleh penulis
asli yang ia plagiasi, walaupun Afi tidak mengakuinya di sebuah wawancara yang
dibawakan oleh Bayu di Jakarta. Coba deh tonton videonya : https://www.youtube.com/watch?v=93zRYt7FCcA. Gue bukan ahli psikologi, dan gue
berharap ada ahli psikologi yang membahas gesture dan body language Afi di tayangan
tersebut.
Prof.
Renald Kasali ikut angkat bicara, yang berisi tentang klaim bahwa tulisan Afi
bukan hasil plagiasi. Argumen beliau, plagiasi hanya ada di tulisan-tulisan
ilmiah, sedangkan tulisan Afi hanyalah sebuah status di Facebook. Beliau memberikan
contoh Aa Gym yang mengutip “Perubahan itu dimulai dari diri sendiri” yang
beliau ungkap sebenarnya kalimat itu adalah milih John Maxwell, tapi kini
seakan-akan menjadi kalimat khas Aa Gym dan tidak ada yang menganggap itu
plagiasi/ menuntut/ apapun itu, ditambah lagi pemilik asli juga tidak
meributkannya. Kira-kira hal ini serupa dengan Mita Handayani yang tidak
meributkan tulisan Afi. Tapi, apa iya kasus Afi dan Aa Gym ini identik? Gue
pikir, nggak.
Sejauh yang
gue tau (tolong dikoreksi kalau gue salah), Aa Gym menggunakan kalimat itu
tanpa adanya klaim bahwa kalimat itu adalah miliknya. Sedangkan Afi, setiap
tulisannya, selalu dibubuhi dengan “ditulis oleh Afi Nihaya Faradisa” tanpa
embel-embel sumber. Kayaknya Prof missed out masalah “mengakui atau tidak”
dalam kasus ini. Gimana kalo ada analogi seperti berikut:
- Gue pinjam dan pakai laptop lo.
- Gue pinjam dan pakai laptop lo, dan bilang “Ini laptop gue.”
Kira-kira,
mana yang bermasalah? Atau kedua-duanya tidak bermasalah? Yaudah itu perspektif
kita masing-masing. Bagi gue, yang pertama adalah Aa Gym yang memang tidak
bermasalah, dan yang kedua adalah Afi yang kemudian gue sebut ini bermasalah.
Masih mau dibela? Iya gapapa, Afi masih belia, jangan diberi beban terlalu
berat. Setidaknya itu yang dikatakan oleh Mita Handayani.
Apa sampai
disini aja analoginya? Nggak kok, selama lo anggap no (2) itu tidak bermasalah,
tenang aja, ada kelanjutkannya:
2a. Orang-orang (baik kenal atau gak kenal) memuji, “Keren banget laptop lo.”
2b. Gue
diundang para ahli untuk review soal laptop kece itu. Gue tinggal bicara
tentang pengalaman gue pakai laptop itu, lalu semua terkesima.
Udah. Gitu
aja. Asik, kan? Makanya, untuk dipandang Amazing, gak perlu duit banyak untuk
beli laptop. Pinjam saja laptop super milik temen lo, terus umbar-umbar ke
media sosial, bahwa lo punya laptop super. Tinggal tunggu waktu, lo panen like, comment and share. Sesederhana itu
kok alurnya. Salah? Nggak kok, asal kita semua setuju dengan pernyataan Guru
Besar Prof Renald Kasali.
Gue suka sama kata-kata Afi di FBnya, "Yang gak ngerti SATIRE, minggir!" Hahahahaha.. Aduh, I just did it.
Kembali ke Mita
Handayani yang no problem tulisannya
dibagikan sana-sini, di copas sana-sini, mungkin sepatutnya sebagai penulis,
Afi tetap membubuhkan sumber kutipannya. Sedangkan mengutip satu kalimat aja
perlu sumber, apalagi beberapa paragraf. Ckckckck.
Tindakan Nyata
Di berbagai
komentar, artikel, berita dan lain-lain, gue mendapatkan penyataan bahwa apa
yang dilakukan oleh Afi adalah sebuah tindakan nyata. Ya, memang tulisan adalah
hasil karya sebuah tindakan nyata. Tapi mengapa apresiasi terhadap tulisan
dapat lebih menakjubkan daripada tindakan nyata lainnya seperti
penemuan-penemuan yang sudah dilakukan oleh anak bangsa? Sebagian tertulis di http://www.masrozak.com/2015/11/penemuan-penemuan-anak-bangsa-yang.html tapi tak satu pun yang mengalahkan
viral-nya Afi. Kira-kira, apa yang menyebabkan ini terjadi? Apa karena anak
bangsa selain Afi tidak membawa isu agama dan kebhinekaan? Atau apa?
Yang jelas,
menurut gue, tulisan adalah sebuah konsep abstrak, sedangkan anak-anak lain
telah merealisasikan konsep yang abstrak tersebut menjadi empiris. Tulisan Afi
adalah karya. Penemuan lain itu juga karya. Semuanya tindakan nyata. Coba gue
tanya, mana yang lebih nyata?
Sebagai
penutup, gue juga mau latah, dengan mengatakan, tulisan gue ini adalah
semata-mata untuk mengajak kalian para pembaca untuk berfikir. Gue gak ingin
mengklaim Afi salah atau benar, karena I’m
not perfect, and never will be. "Yang gak ngerti SATIRE, minggir!" (gue ketawa... lagi).
NB:
Sungguh, dari dalam lubuk hati paling dalam, gue berharap tulisan sepanjang ini
adalah latar belakang kasus tesis gue. Kenapa selain tesis, gue bisa lancar
nulis? Apa karena gue lebih bisa pakai Bahasa kasual dari pada formal?
Hahahaha.
* * * * *
Dwindown, 2017