Kontrakan Mistis [3] : Perpindahan
Rabu, Juli 22, 2015
Teror-teror mistis dari makhluk halus
yang ada di kontrakan ini memang selalu ada setiap harinya. Paling minimal,
rumah terasa ramai walaupun salah satu dari kami hanya sendirian di rumah.
Kejadian-kejadian kecil seperti penampakan kuntilanak di dapur, dikurung monyet
yang mirip Hanoman di dalam kamar mandi belakang, mimpi buruk hampir di setiap
tidur siang, barang hilang berbulan-bulan terus muncul tiba-tiba, dan lain
sebagainya, sudah menjadi hal yang biasa buat kami.
Setelah tinggal selama dua tahun di
kontrakan itu, si Ibu kontrakan tidak mau lagi memperpanjang masa kontrak rumah
itu kepada kami. Padahal kami sudah betah dan mau terus memperpanjang
kontraknya sampai kuliah kami selesai. Tapi sayangnya, si Ibu kontrakan gak
bisa di nego lagi.
Dua hari terakhir sebelum kami pindah,
rumah kontrakan sudah penuh dengan kardus-kardus barang. Sore harinya, temen
cewek gue datang ke kontrakan karena gue minta dia untuk mengambil beberapa
buku yang gue punya, biar gue pindahan nanti gak repot banget ngurusin
buku-buku. Namanya Ayna.
“Duduk dulu, Na. Gue ambilin dulu
bukunya di kamar, sambil gue cariin sisanya. Kayaknya masih ada tiga buku lagi
yang mau gue titipin ke lo. Sebentar ya.” Kata gue saat Ayna tiba di kontrakan.
Ayna menjawab dengan anggukan.
Kira-kira, sekitar lima belas menit gue
mencari sisa buku tersebut. Begitu semua buku terkumpul, gue kembali ke ruang
tamu.
“Nih bukunya. Cukup gak kalau dimasukin
ke tas lo, Na?” tanya gue.
Ayna diam.
“Na?” tanya gue lagi, sambil melihat
matanya.
Ayna tidak bergerak. Ayna hanya mengedip
pelan. Matanya melihat ke arah kamar Tris, tapi dengan pandangan kosong.
“Halooo,
Aynaaaa!!!” gue melambai-lambaikan tangan gue didekat muka Ayna, cara mainstream untuk menyadarkan orang yang
lagi ngelamun. Tapi masih juga nihil. Wah...
Gue langsung berinisiatif memegang kedua
bahu Ayna dan mengguncang-guncang badannya sambil memanggil namanya.
“Aynaaaaaa!!! Oi Aynaaaaa!!!”
Setelah lima menit gue kayak orang gila
yang ngomong pada batu, akhirnya dia memutar bola matanya untuk melihat mata
gue. Tanpa mengedip dia menjawab, “Ada siapa di kamar itu?”
Deg! Hei, sebelum Ayna datang, gak ada
siapa-siapa di rumah ini kecuali gue!
Ayna mengangkat tangannya perlahan dan
menunjuk ke arah pintu kamar Tris yang setengah terbuka. “Sebentar lagi kamu
akan lihat kalau di kamar itu ada seseorang.”
Gue menatap ke arah yang ditunjuk oleh Ayna.
Jantung gue berdebar-debar. Gue tahu, ini pasti kerjaan gaib. Tapi yang mana?
Gue belum tahu. Gue masih menunggu ada sosok yang muncul dari arah itu.
Apa itu? Gue melihat ada gerakan yang
berasal dari belakang pintu kamar Tris. Seperti, rambut? Rambut apa yang
bergerak? AH! Itu kepalanya, gue lihat mukanya! Itu adalah sosok kuntilanak
yang paling jarang, tapi paling menyeramkan yang ada di rumah ini! Dia
merangkak dari balik pintu kamar Tris ke arah luar. Jujur gue panik. Pertama,
karena disini ada orang normal yang lihat kejadian ini. Kedua, gue gak tau tuh
anak-anak abnormal lagi pada pergi kemana. Gue harus menghadapi kejadian kali
ini sendirian!
Kini kuntilanak itu memutar kepalanya,
menoleh ke arah gue dan Ayna. Ayna benar-benar tidak bergeming. Sejauh yang gue
tau, lebih baik Ayna panik dari pada diam seperti ini. Sikap diam ketika
melihat, apalagi bertatapan dengan makhluk halus, bisa saja karena telah
dikuasai atau dipengaruhi oleh makhluk halus tersebut. Sayangnya hal ini hanya
bisa dikendalikan oleh orang itu sendiri. Gue gak bisa apa-apa. Gue hanya bisa
melihat kejadian itu tanpa mengantisipasi apapun.
Setengah wajah kuntilanak itu masih
tertutup oleh pintu kamar. Kepalanya sedikit memutar ke samping. Jari-jarinya
yang kurus panjang dengan kuku-kuku tajam muncul dari balik pintu. Matanya
putih polos membelalak. Mukanya menghadap kami yang tak bergeming karena
dikuasai rasa takut. Sayup-sayup, mulai terdengar suara desah serak yang
berbisik pelan.
Hhhhooooooooo.....
Bulu-bulu di pipi, tangan dan kaki gue
berdiri tegak. Gue merinding party.
Semakin lama, suara itu semakin jelas. Bahkan sangat jelas.
“Thoooolooooonnggg......”
Nah lho!
Minta tolong? Kenapa nih kunti? Mendadak
rasa penasaran lebih nyuntik daripada
rasa takut. Gue melihat ke arah Ayna, tapi dia masih tak bergeming. Mungkin
gara-gara dia orang normal kali ya. Gue mengembalikan pandangan ke arah kuntilanak
itu, lalu memicingkan mata.
Suara yang sama terdengar lagi, dan gue
melihat dia melambai-lambaikan tangannya ke arah gue. Mukanya yang tadi
terlihat seram, kini malah terlihat memelas. Asli, kasian banget. Gue
memberanikan diri untuk berjalan mendekati pintu kamar Tris. Semakin dekat,
semakin jelas pendengaran dan penglihatan gue.
“Thoooloooongg.....”
Bisa lo bayangin ada kuntilanak yang
minta tolong dengan aksen medhok Jawa?
“Kenapa lo?” tanya gue, bicara ternyata
cukup untuk menekan rasa takut.
“Rambutku nyangkut di engsel pintu
masss... Thooloooong...”
BUAK!!!
Kaki gue refleks nendang pintu kamar
Tris dengan kuat, saking keki banget mendengar kata-kata kuntilanak medhok bin caper
itu. Pintu yang gue tendang, menghantam muka kuntilanak tersebut dan dia
tiba-tiba hilang. Mungkin gak mau menanggung malu dengan berkata “aduh!”
* * * * *
Empat bulan setelah gue pindah
kontrakan, gue iseng-iseng pulang kuliah melewati rute menuju rumah kontrakan
horor itu. Kangen juga. Gue berhenti tepat didepan pagar halaman laundry, di
seberang rumah kontrakan itu.
“Hei, Mas Adhan!” sapa bapak pemilik
laundry.
“Hai, Pak!” jawab gue.
“Apa kabar, Mas? Oh iya, sekitar dua
minggu setelah Mas Adhan dan temen-temen pindah, aku pernah dengar ada suara
gaduh gitu dari dalam rumah itu mas. Persis kayak Mas Adhan lagi kumpul-kumpul
dengan temen-temennya.”
“Wah serius pak?!” tanya gue,
memastikan.
“Iya, Mas. Pernah sampai
aku datengin, tapi kok lampunya gak ada yang nyala. Di terasnya pun, gak ada
sendal-sendal berantakan, kayak biasanya kalau ada Mas Adhan dan lainnya. Aku
juga coba lihat dari jendela kamar yang dulunya kamar Mas Adhan itu. Gak ketok[1]
ada orang di didalam rumah gitu, Mas. Yakin deh! Hiii...!”
[1] terlihat
* * * * *
Dwindown, 2015
image source:
http://i724.photobucket.com/albums/ww244/taroyana/kartun%20bali/pindah.jpg
0 comments