Kontrakan Mistis [2] : Gara-gara Jimat

Sabtu, Juli 18, 2015



“Yu, lo liat STNK motor gue gak?”
Pagi hari, sekitar jam setengah delapan, gue mendengar Arnand bertanya ke Wahyu, apakah Wahyu tahu dimana STNK atau Surat Tanda Nomor Kendaraan milik Arnand. Terdengar pula jawaban tidak tahu dari Wahyu.
“Waduh, gue harus ke kampus nih. Kalau gak ada STNK, gue mesti serahin KTM gue nih. Perkara banget sih. Padahal seinget gue, tuh STNK gue simpan terus di dompet.”
Kampus kami memang begitu. Setiap kali keluar dari lahan parkir kampus, kami harus menunjukkan STNK motor yang kami pakai. Kalau tidak ada STNK, petugas parkir akan meminta Kartu Tanda Mahasiswa kami sebagai jaminan. Hanya bisa ditebus kalau kami sudah bisa menunjukkan STNK motor yang kami bawa saat itu.
“Ada di dompet, Nand? Diambil tuyul kali.” Kata gue sambil keluar kamar.
“Ya masa tuyul ngambil STNK sih?”
“Mungkin tuh tuyul baru ditolak kunti dengan alasan terlalu cebol. Terus dia galau, gak ada pegangan, goyah, gundah gulana. Akhirnya nyolong aja gak fokus. Yang keambil ya STNK lo deh.”
“Ah kampret lo. Gue lagi buru-buru malah bercanda. Gue pinjem motor lo ya?”
“Yaudah, ambil aja kuncinya dilemari buku. Tuh!” gue menunjuk dimana letak kunci motor gue.
Memang menjadi pertanyaan besar, kemana perginya STNK si Arnand. Karena sejak hari itu, gue, Wahyu, Arnand dan Tris mencari STNK itu terus. Kami mencari disetiap sudut rumah. Kolong kasur, kolong kursi, semua lemari sampai gue sendiri ngecek di kulkas. Kami mencari sampai kontrakan yang berantakannya sanggup mengalahkan kapal Titanic yang nabrak gunung es, patah, terus karam, menjadi bersih kinclong karena berpikir mana tahu STNK itu tertimpa sampah, atau terselip diantara baju-baju kotor, atau mungkin juga nyempil diantara kotak-kotak DVD. Nihil. Kami putus asa. Tiga bulan lamanya, Arnand membiarkan STNK-nya yang hilang tanpa mengurus ke kepolisian. Akhirnya dia cuek aja pergi kemana-mana tanpa bawa STNK.

* * * * *

Dua bulan kemudian, nyokap gue datang ke Yogyakarta. Nyokap mau menemani Tris yang sedang UTS, katanya. Gue sih asik-asik aja. Gak perlu galau lagi mau makan apa. Kalau ada nyokap, nasi dan lauk selalu siap sedia. Nyokap pasti masak setiap datang ke Yogyakarta.
Seperti biasanya, begitu nyokap sampai di rumah kontrakan, nyokap pasti ngomel. Kontrakan cowok ini memang susah sekali untuk rapi. Kerja bakti rutin sebulan sekali. Tapi sayang, rapinya cuma bertahan tiga hari. Sisanya 27 hari lagi, ya berantakan. Selalu begitu. Yang mengherankan kami berempat, setiap kali nyokap datang, rumah ini mendadak damai. Tidak pernah ada gangguan apapun. Padahal kami setiap hari selalu saja mengalami kejadian aneh di rumah ini.
Hari pertama nyokap hadir di rumah kontrakan ini, kami kerja bakti dadakan. Nyokap jadi mandor, kami jadi tukangnya. Karena kelelahan, nyokap langsung tidur seusai sholat Isya. Yap, terlalu cepat untuk tidur. Kami para pemuda nocturnal, secapek apapun pasti tetap bergadang. Hehehe.
Jam setengah dua belas malam, nyokap bangun. Nyokap jalan ke dapur untuk mengambil gelas dan kembali ke ruang tengah, dispenser memang ada di ruang tengah. Gue sedang menyicil tugas untuk minggu depan di komputer. Tris, Arnand dan Wahyu sudah di kamarnya masing-masing.
“Dhan, gimana rumah bisa bersih kalau kayak gini. Nih siapa yang makan kacang kulit, kulitnya berserak di lantai gini?”
Ups, tadi kami memang main kartu berempat sambil makan kacang kulit dan lupa membereskan sampahnya.
Gue langsung keluar kamar untuk segera membersihkan kulit kacang itu. Tapi baru saja sampai dipintu kamar, gue lihat nyokap sedang menyapu.
“Udah, lanjutin aja tugasnya.” Kata nyokap.
Okelah.
Lima menit kemudian...
“Adhaaannn, hiiiiii..!!!” nyokap menjerit sambil lari ke kamar gue.
“Kenapa, Ma?” tanya gue heran. Ya jelas gue kaget nyokap menjerit gitu tengah malam gini.
“Ada yang manggil Mama dari jendela belakang. Ya Allah, ya Allah. Astaghfirullah.” Nyokap jujur. Kelihatan dari mukanya yang pucat. Benar-benar terlihat takut. Tapi bagaimanapun, ada yang menggelitik gue untuk tertawa.
“Hahahaha... Akhirnya ya, Ma.”
“Heh, kenapa malah ketawa?”
“Akhirnya Mama buktiin juga kalau cerita horor kami selama ini tu beneran. Kami gak bohong soal hantu-hantu yang ada dirumah ini. Hihihihi.”
“Ya Allah, Dhan. Iya iyaa, Mama percaya. Mama tidur di kamar kamu aja ya.”
“Iya gapapa, di sini aja. Di kamar Tris bahaya, ada kakek-kakeknya. Ntar malah muncul pula. Hehehe.”
“ADHAN!” nyokap panik.
“Hahaha. Iya Ma, udah taruh dulu sapunya. Langsung tidur aja. Hehehe. Aku gak tidur kok. Kasurku nganggur malam ini.”
Akhirnya nyokap pindah kamar, yang tadinya di kamar Tris, sekarang jadi di kamar gue. Dalam hati, gue masih tertawa geli. Entah, rasanya gue sedikit senang karena nyokap akhirnya percaya sama cerita misteri rumah ini. Hahaha. Tapi kasihan juga kalau kayak gini ceritanya. Beliau sampai pucat kayak gitu.
Keesokan harinya, tanpa sepengetahuan kami berempat, nyokap melapor kejadian malam itu ke pemilik rumah. Nyokap benar-benar takut. Sebagai pemilik rumah yang bertanggungjawab, maka ibu pemilik kontrakan berjanji untuk mendatangkan kyai untuk membersihkan rumah itu dari setan-setan yang terkutuk. Nyokap lega, walaupun Ibu kontrakan datang bersama kyai itu sekitar tiga minggu lagi, karena sekarang masih ada urusan yang tak bisa ditinggalkan. Nyokap setuju.
Singkat cerita, Ibu kontrakan betul-betul datang bersama dua orang bapak-bapak berbaju gamis dan kepalanya ditutupi sorban. Wow, ini dia nih kyai yang dijanjikan si Ibu. Aroma parfum firdaus murahan yang semerbak menggelitik gue ketika gue menyambut mereka di ruang tamu. Fiuh, gue bersin berkali-kali. Gue memang sedang sendiri dirumah, karena Tris, Arnand dan Wahyu sedang ada acara masing-masing.
“Yaudah mas, kita mulai aja ya bersihkan rumahnya. Dari auranya memang terasa banyak banget mahkhluk gaib jahat di rumah ini.” Kata salah satu kyai itu.
“Oke, Pak. Silakan dimulai aja.”
Kyai-kyai itu berjalan dengan pandangan mengitari seluruh sudut rumah, lalu mereka masuk ke dalam kamar Tris. Entah apa yang membuat mereka memilih kamar Tris untuk memulai ritualnya. Sungguh, gak ada angin gak ada hujan. Baru sekitar tiga menit para kyai itu baca-baca mantra (gue gak tau mereka baca apa, pokoknya berbahasa Arab, makanya gue bilang baca mantra), listrik di rumah itu padam!
“Mas, ada lilin gak?” tanya Ibu kontrakan.
“Ada, tapi aku cari dulu ya, Bu.” Jawab gue. Gue memeriksa setiap ruang, mana tahu ada sebatang-dua batang lilin yang bisa gue kasih ke si Ibu.
Karena dibeberapa ruang gue gak menemukan sebatang lilin pun, gue pun masuk ke kamar Tris. Lantunan ‘mantra’ berbahasa Arab cukup terdengar jelas. Gue mencari lilin sambil menajamkan pendengaran gue. Mana tahu gue bisa identifikasi apa yang sedang dibaca oleh kedua kyai tersebut, tapi nihil. Tak ada satu kata atau kalimatpun yang pernah gue denger. Gini-gini kan gue gak bego-bego amat soal agama. Jadi gue bener-bener penasaran dengan apa yang mereka baca.
Akhirnya gue menemukan dua batang lilin di meja kerja Tris. Gue nyalakan satu batang untuk menerangi kamar Tris dan satu lagi gue nyalakan untuk menerangi ruang tamu. Tapi sebelum gue ke ruang tamu, gue melihat salah satu kyai itu sedang membungkuk. Dari belakang sih terlihat seperti sedang menulis. Karena penasaran, gue mendekati mereka dari belakang, dan berusaha melihat apa yang sedang mereka tulis.
Sepertinya bukan hal yang biasa gue lihat. Kyai itu menulis tulisan arab yang gue gak bisa baca karena tidak ada tanda bacanya. Arab gundul, begitu yang biasa disebut oleh orang-orang. Tapi yang lebih mengherankan, kyai itu menulis tulisan itu di secarik kertas persegi berukuran kecil dan tulisannya mengelilingi kertas. Bukan cara menulis yang biasa. Bagaimanapun, gue gak mau ganggu ritual mereka. Biarkan saja.
Setengah jam kemudian, Ibu kontrakan dan dua kyai itu pamit pulang. Namun sebelum pulang, salah satu kyai menempelkan sebuah lipatan kertas di kusen pintu utama.
“Jangan dicopot ya, Mas. Setan-setannya udah diusir. Itu penangkal biar mereka gak masuk ke rumah ini lagi.” Kata kyai itu. Gue cuma manggut-manggut sambil mengelus janggut..... Janggut milik kyai itu, sambil bilang barakallah. Hehehehe.
Lagi-lagi. Baru saja mereka pergi dari rumah ini, listrik nyala lagi. Entah apa yang terjadi, seakan-akan kedatangan kyai tadi seperti tak diharapkan. Tak lama kemudian, satu persatu warga kontrakan pulang. Masing-masing dari mereka menanyakan hal yang sama.
“Wow, ada apa nih? Kok kayaknya beda ni kontrakan?” tanya mereka.
“Entah ya. Tadi Ibu kontrakan dateng bawa dua kyai. Sebelum pulang, kyai itu nempelin jimat di pintu.” Jawab gue sambil menunjuk ke lipatan kertas yang ada di kusen pintu.
“Jimat?”
“Iya, katanya penangkal gitu. Jadi kyai tadi itu bilang kalau setan-setan disini udah diusir, dan itu penangkal mereka datang lagi. Tapi...” kalimat gue terputus.
“Lo semua ngerasa gak sih rumah ini malah terasa lebih ‘ramai’?” tanya Tris. Gue, Arnand dan Wahyu mengangguk pasti.
Ya, rumah ini bukannya terasa lebih lega, malah semakin terasa sempit. Gue jadi ragu, sebenarnya kyai tadi tuh ngusir yang ada atau malah mengundang yang lain untuk datang? Yang jelas, tidak ada dari kami yang melepas ‘jimat’ itu walaupun tidak sreg dengan keberadaan jimat itu. Cuek saja lah.

* * * * *

Dua hari kemudian, tepatnya malam Jumat, lima orang teman kelompok kerja gue datang ke kontrakan untuk mengerjakan tugas bersama. Memang, sebagai mahasiswa teknik, mengerjakan tugas adalah kegiatan kami sehari-hari. Tak mengenal jam ataupun malam minggu. Pokoknya tugas, tugas dan tugas.
“Heh! Siapa nih yang kentut?!” tanya Arnand saat kami sedang serius mencari referensi tugas.
“Kentut dari Hongkong. Ini sih bau ketek! Siapa yang belum mandi?!” Gue ikutan protes.
“Lah? Idung kalian pada kenapa sih? Ini bukan bau kentut, bukan bau ketek juga. Ini bau busuk. Lo nimbun sampah ya Dhan?” kata Tami, salah satu teman sekelompok gue.
“Bentar-bentar, jadi sebenarnya ini bau apa sih? Kok pada beda-beda gini?” tanya gue, tanpa menjawab pertanyaan Tami. Soalnya tanpa gue jawab pun dia tau kalau gue emang suka nimbun sampah di belakang dapur dan membuangnya dua minggu sekali. Hehehehe.
Randi, teman gue juga, berinisiatif untuk mengecek kejadian ini bersama-sama.
“Ada yang kentut gak nih? Gak mungkin setan yang kentut, kan?” tanya Randi. Kami semua tidak ada yang mengaku. Malah ada yang sampai bersumpah segala.
“Sumpah, gue gak kentut. Boleh deh ketemu sundel bolong kalau gue bohong!”
“Oke,” kata Randi lagi, “Cek ketek masing-masing. Siapa yang keteknya bau?” Kami serentak mengangkat tangan dan mencium ketek masing-masing.
“Aman!”
“Buset. Yaudah, Dhan, coba lo cek belakang dapur, bener gak bau sampah yang lo timbun sama dengan bau ini.” perintah Randi. Gue langsung bergegas ke belakang, membuka plastik sampah yang berukuran besar itu dan nekat mencium aromanya. Puih!
“Buset, kampret bener ni sampah. Baunya beda bro!” lapor gue kepada Randi.
 “Dhan, sekarang kan udah minggu ketiga gak hujan tuh. Coba cek selokan di depan rumah. Kali aja bau karena selokannya kering.” Usul Wahyu yang hidungnya juga terusik.
Gue langsung lari ke depan, disusul Tris dan Wahyu. Arnand tetap di dalam rumah bareng temen-temen kelompok gue. Saking penasarannya, gue langsung membungkuk mendekatkan hidung gue ke selokan kering yang ada di depan pagar rumah kontrakan ini. Setelah menghirup berkali-kali, malah hampir gak ada bau. Aromanya aroma lembab busuk gitu, tapi benar-benar samar. Bisa dikatakan tidak ada bau, gitu deh.
Lagi asik hirup-hirup aroma selokan, Tris menepuk pundak gue berkali-kali dengan cepat dan keras. Pukpukpukpukpuk!
“Apaan sih? Sabar dong!” protes gue. Gue berdiri sambil pasang muka ke arah Tris. Tapi Tris malah melihat ke arah lain dengan wajah shock. Gue refleks ikut menoleh kearah yang sama dan memutar pandangan ke segala arah.
HIHIHIHIHIHIHIHIHI.....!!!!![1]
HOHOHOHOHAHAHAHAHA.....!!!!![2]
Tap...tap...tap...[3]
Sreek...sreek...[4]
Sateeeeee...!!!!![5]
What the.....” gue ikutan cengo bego karena terkejut dengan apa yang gue lihat saat itu.
Bagian ini, rasanya pengen banget lo semua ada di posisi kami saat itu. Ada lima kuntilanak, tiga pocong, empat suster ngesot, dua sundel bolong, dua genderuwo, dan entah apa lagi namanya. Mereka semua menghadap ke arah kami. Berdiri di berbagai tempat. Ada yang di halaman laundry, ada yang di antara pohon pisang, ada yang di aspal, ada yang di atas tembok pagar, ada yang di atas dahan pohon besar, ada yang melayang, ada yang duduk di teras kontrakan. Kami dikepung.
“Gak..beres..nih..” ujar gue pelan.
“Kalian semua ngapain kumpul disini?!” tanya Tris dengan lantang.
“HAHAHAHAHA, doi gak takut rupanya. Heh! Harusnya kita yang nanya, kenapa undang-undang kita datang? Gue pikir ada reunian.”
 “Yeee. siapa juga yang ngundang situ? Males juga ngundang-ngundang setan, kayak gak ada kerjaan aja.” Kata gue.
Mendengar jawaban gue, genderuwo yang satu lagi, yang berbadan tinggi besar kekar, bermata merah menyala, dan bertanduk, tiba-tiba menggeram. Lalu dia berjalan ke arah gue dengan langkah besarnya.
Yey [6]kira-kira dong! Gilingan[7] ah! Yey pikir datang kesindang[8] tintra[9] pakai tumbal? Bayangkara[10] harga tumbalnya maharani[11], Nek! Endang[12] aja yey bilang tintra ngundang. Rugi bandar dong eike[13], masa kesindang cuma jali-jali[14] doang? SDMB[15]! Pokoknya eike tintra mawar[16] tau, yey harus sediain pesta gedong[17] buat eike, diana[18] ama pere-pere[19]disindaaang!!!” Genderuwo ini nyerocos dengan suara cempreng sambil mendekatkan wajahnya ke gue. Setan-setan lain pada bersorak, “Ajojing, ajojing, ajojing[20]!!!”
Ternyata dari jarak dekat, gue baru sadar, mata merah menyala itu bukan karena dia marah, melainkan karena genderuwo banci ini pakai eye shadow merah norak. Dan gue juga mau minta maaf, karena yang tadi gue kira tanduk, ternyata itu adalah rambut gimbal yang dikepang imut gitu deh. Karena rambutnya gimbal maka hasilnya bukan juntai kebawah, melainkan mencuat kayak tanduk. Dia ngomong sambil nunjuk-nuntuk muka gue pake jari kelingking, itu pun jarinya ngetril. Asli, mendadak capek batin gue gara-gara shock ketemu genderuwo sekong[21] kayak gini. Tapi bagaimanapun, gue harus selesaikan kampret-kampret ini segera. Biar pada capcus[22] dari muka gue. Huh!
“Heh bencong, yey cacamarica[23] pesta kesindang kan? Oke! Tapi ada syaratnya. Pestanya harus syar’i. Tintra ada yang pecongan[24], tintra ada minangan[25] alkohol, tintra ada yang ganggu tetangga dan yang paling penting adalah yey semua harus mandole[26]! Baunya gilingan Neeeekk!!! Eike kasih waktu lima menit. Kalau syaratnya tintra dipenuhi, berarti tintra ada pesta gedongan disindang. Oke?”
Wush! Mereka menghilang.
“Lo ngucap mantra apa barusan, Dhan?” tanya Wahyu.
“Gak tau, kayaknya gue kesurupan tuyul banci nih.” Jawab gue seenaknya.
“Jadi lo berhasil ngusir mereka?” kali ini Tris yang bertanya.
“Kagak juga sih. Genderuwo sekong tadi ngancem makan kita semua kalau gak ada pesta. Yaudah gue bilang bakal gue sediain pesta, tapi mereka harus mandi dulu. Biar kita gak keganggu ama bau kampretnya. Syaratnya, pesta yang gue sediain pesta yang syar’i.”
“Buset dah.” Kata Wahyu dan Tris sambil geleng-geleng.
“Gue curiga nih sama jimat yang dipasang sama kyai kemarin. Waktu jimat itu ditempel, kalian bilang auranya malah terasa lebih ramai kan? Jangan itu bukannya menangkal malah ngundang. Rese!” maki gue.
“Iya, Bang, bisa jadi. Mendingan setelah perkara ini kelar, kita bakar aja tu jimat.” Usul Tris. Gue setuju banget.
Beberapa menit kemudian, mereka mulai bermunculan satu persatu. Yang tercium sekarang adalah wangi melati dan kenanga. Gak ada aroma lain.
“Eike minta lagi dong parfum melati yey. Wanginya cucok ama eike, nek.” Terdengar genderuwo sarap tadi lagi mohon-mohon minta parfum melati ke salah satu kuntilanak.
“Kagak ada! Elo tuh pake parfum bukannya disemprotin malah diguyurin! Rugi!” jawab kuntilanak yang bersangkutan. Akhirnya genderuwo itu manyun-manyun merajuk jijay karena gak dikasih.
“Oke, udah pada siap ajojing?!” tanya gue lantang.
“Yuuhuuuuu. Siap doooong!!!” jawab mereka serentak.
Gue langsung lari ke kamar, meninggalkan Wahyu dan Tris yang masih berdiri di depan rumah kontrakan. Sesampainya di kamar, gue langsung menyetel lagu dan menambah volume suara speaker gue yang berukuran cukup besar.

♪ Lingsir wengi~ ♫
♪ Sliramu tumeking sirno~ ♫
....

Setan-setan gak tau diri itu langsung ajojing, semakin lupa diri. Yap, ini lagu Lingsir Wengi, tapi yang gue setel ini adalah versi dangdut techno hiphop nonstop lima jam.
Sementara itu, Tris dan Wahyu sudah melepas jimat bertulisan Arab itu dari kusen. Sebelum dibakar, mereka membuka lipatan kertas itu dan membacanya. Isinya, seperti yang gue bilang sebelumnya, terdiri dari tulisan-tulisan Arab gundul yang samasekali gak bisa kami baca. Daripada kontrakan ini jadi tempat ajojing setan setiap malam jumat, maka jimat tersebut kami musnahkan. Bakar!

* * * * *

Di suatu siang yang panas dan gerah, Tris yang masih berseragam putih-abu pulang dari sekolahnya. Gue bisa tahu dari suara motornya. Sudah hapal. Terdengar Tris membuka pintu dan melangkah ke dalam. Lalu hening sejenak, dan langkahnya jadi mengarah ke kamar gue.
“Bang. Ini STNK Bang Arnand, kan?”
Wah!
Gue langsung menoleh ke arah pintu kamar, tempat Tris berdiri. Terlihat Tris sedang mengibas-ngibaskan STNK. Gue berdiri dan menghampiri Tris, lalu mengambil STNK itu.
“Gue kan tadi jalan dari garasi lewat lorong. Terus kerasa ada yang nimpuk kepala gue. Terus gue noleh ke belakang. Tapi gak ada siapa-siapa. Begitu gue liat kebawah, gue liat STNK itu dilantai.”
“Iya ini punya Arnand nih. Wah parah. Jadi selama ini disembunyiin setan? Kampreeet!” kata gue, “Tapi kok dibalikin ya? Jangan-jangan omongan gue kejadian beneran. Yang ngambil tuyul galau. Terus setelah tiga bulanan dia baru sayang kalau lembaran yang satu ini bukan duit, makanya dibalikin. Mungkin gak?”
“Yaelah, ngapain juga tuyul balikin barang yang dia ambil. Kalau gue jadi dia sih mending gue buang aja. Simpel, gak repot.” Jawab Tris.
“Aha! Jangan-jangan dia ikutan ajojing pake lagu lingsir wengi dangdut techno itu, terus hepi abis karena bisa ajojing bareng kunti-kunti, dan dia berterimakasih ke kita. Makanya mau balikin STNK ini.”
“Ngaco aja lo, Bang.” Ujar Tris bete, sambil meninggalkan kamar gue.
Tapi, kan, bisa jadi asumsi gue bener!




[1] Suara kuntilanak ngikik
[2] Suara genderuwo ngakak
[3] Suara pocong lompat-lompat
[4] Suara suster lagi ngesot
[5] Suara tukang sate keliling lewat
[6] kamu
[7] gila
[8] kesini
[9] tidak
[10] bayar
[11] mahal
[12] enak
[13] saya
[14] jalan-jalan
[15] Sori Dori Mori Bow
[16] mau
[17] gede
[18] dia
[19] perempuan-perempuan
[20] Joget; ajeb-ajeb
[21] sakit
[22] pergi
[23] cari
[24] pacaran
[25] minuman
[26] mandi

* * * * *

Dwindown, 2015

tentang jimat ini silakan baca link:
http://buletin.dareliman.or.id/berita.php?id=14

image source:
http://buletin.dareliman.or.id/gambar/berita/RAJAH+RATU+SABA..jpg

You Might Also Like

3 comments

  1. mas ini beneran gak sih ceritanya, horor horor bikin ngakak gimana gituu

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahahaha,,sebenernya ini memang diambil dari kisah nyata.. kejadiannya tahun 2009-an gitu. Tapi ya dikombinasikan dengan komedi.. ini bukan blog horor, tapi blog "gilak" :p

      Hapus
  2. ah makin koplak... ini beneran kejadian probadi apa gimana sih?

    BalasHapus