Kontrakan Mistis [2] : Gara-gara Jimat
Sabtu, Juli 18, 2015
“Yu, lo liat STNK motor gue gak?”
Pagi hari, sekitar jam setengah delapan,
gue mendengar Arnand bertanya ke Wahyu, apakah Wahyu tahu dimana STNK atau Surat
Tanda Nomor Kendaraan milik Arnand. Terdengar pula jawaban tidak tahu dari
Wahyu.
“Waduh, gue harus ke kampus nih. Kalau
gak ada STNK, gue mesti serahin KTM gue nih. Perkara banget sih. Padahal
seinget gue, tuh STNK gue simpan terus di dompet.”
Kampus kami memang begitu. Setiap kali
keluar dari lahan parkir kampus, kami harus menunjukkan STNK motor yang kami
pakai. Kalau tidak ada STNK, petugas parkir akan meminta Kartu Tanda Mahasiswa
kami sebagai jaminan. Hanya bisa ditebus kalau kami sudah bisa menunjukkan STNK
motor yang kami bawa saat itu.
“Ada di dompet, Nand? Diambil tuyul
kali.” Kata gue sambil keluar kamar.
“Ya masa tuyul ngambil STNK sih?”
“Mungkin tuh tuyul baru ditolak kunti dengan
alasan terlalu cebol. Terus dia galau, gak ada pegangan, goyah, gundah gulana.
Akhirnya nyolong aja gak fokus. Yang keambil ya STNK lo deh.”
“Ah kampret lo. Gue lagi buru-buru malah
bercanda. Gue pinjem motor lo ya?”
“Yaudah, ambil aja kuncinya dilemari
buku. Tuh!” gue menunjuk dimana letak kunci motor gue.
Memang menjadi pertanyaan besar, kemana
perginya STNK si Arnand. Karena sejak hari itu, gue, Wahyu, Arnand dan Tris
mencari STNK itu terus. Kami mencari disetiap sudut rumah. Kolong kasur, kolong
kursi, semua lemari sampai gue sendiri ngecek di kulkas. Kami mencari sampai
kontrakan yang berantakannya sanggup mengalahkan kapal Titanic yang nabrak
gunung es, patah, terus karam, menjadi bersih kinclong karena berpikir mana
tahu STNK itu tertimpa sampah, atau terselip diantara baju-baju kotor, atau
mungkin juga nyempil diantara kotak-kotak DVD. Nihil. Kami putus asa. Tiga
bulan lamanya, Arnand membiarkan STNK-nya yang hilang tanpa mengurus ke
kepolisian. Akhirnya dia cuek aja pergi kemana-mana tanpa bawa STNK.
* * * * *
Dua bulan kemudian, nyokap gue datang ke
Yogyakarta. Nyokap mau menemani Tris yang sedang UTS, katanya. Gue sih
asik-asik aja. Gak perlu galau lagi mau makan apa. Kalau ada nyokap, nasi dan
lauk selalu siap sedia. Nyokap pasti masak setiap datang ke Yogyakarta.
Seperti biasanya, begitu nyokap sampai
di rumah kontrakan, nyokap pasti ngomel. Kontrakan cowok ini memang susah
sekali untuk rapi. Kerja bakti rutin sebulan sekali. Tapi sayang, rapinya cuma
bertahan tiga hari. Sisanya 27 hari lagi, ya berantakan. Selalu begitu. Yang
mengherankan kami berempat, setiap kali nyokap datang, rumah ini mendadak
damai. Tidak pernah ada gangguan apapun. Padahal kami setiap hari selalu saja
mengalami kejadian aneh di rumah ini.
Hari pertama nyokap hadir di rumah
kontrakan ini, kami kerja bakti dadakan. Nyokap jadi mandor, kami jadi
tukangnya. Karena kelelahan, nyokap langsung tidur seusai sholat Isya. Yap,
terlalu cepat untuk tidur. Kami para pemuda nocturnal, secapek apapun pasti
tetap bergadang. Hehehe.
Jam setengah dua belas malam, nyokap
bangun. Nyokap jalan ke dapur untuk mengambil gelas dan kembali ke ruang
tengah, dispenser memang ada di ruang tengah. Gue sedang menyicil tugas untuk
minggu depan di komputer. Tris, Arnand dan Wahyu sudah di kamarnya masing-masing.
“Dhan, gimana rumah bisa bersih kalau
kayak gini. Nih siapa yang makan kacang kulit, kulitnya berserak di lantai
gini?”
Ups, tadi kami memang main kartu
berempat sambil makan kacang kulit dan lupa membereskan sampahnya.
Gue langsung keluar kamar untuk segera
membersihkan kulit kacang itu. Tapi baru saja sampai dipintu kamar, gue lihat
nyokap sedang menyapu.
“Udah, lanjutin aja tugasnya.” Kata
nyokap.
Okelah.
Lima menit kemudian...
“Adhaaannn, hiiiiii..!!!” nyokap
menjerit sambil lari ke kamar gue.
“Kenapa, Ma?” tanya gue heran. Ya jelas
gue kaget nyokap menjerit gitu tengah malam gini.
“Ada yang manggil Mama dari jendela
belakang. Ya Allah, ya Allah. Astaghfirullah.” Nyokap jujur. Kelihatan dari
mukanya yang pucat. Benar-benar terlihat takut. Tapi bagaimanapun, ada yang
menggelitik gue untuk tertawa.
“Hahahaha... Akhirnya ya, Ma.”
“Heh, kenapa malah ketawa?”
“Akhirnya Mama buktiin juga kalau cerita
horor kami selama ini tu beneran. Kami gak bohong soal hantu-hantu yang ada
dirumah ini. Hihihihi.”
“Ya Allah, Dhan. Iya iyaa, Mama percaya.
Mama tidur di kamar kamu aja ya.”
“Iya gapapa, di sini aja. Di kamar Tris
bahaya, ada kakek-kakeknya. Ntar malah muncul pula. Hehehe.”
“ADHAN!” nyokap panik.
“Hahaha. Iya Ma, udah taruh dulu
sapunya. Langsung tidur aja. Hehehe. Aku gak tidur kok. Kasurku nganggur malam
ini.”
Akhirnya nyokap pindah kamar, yang
tadinya di kamar Tris, sekarang jadi di kamar gue. Dalam hati, gue masih
tertawa geli. Entah, rasanya gue sedikit senang karena nyokap akhirnya percaya
sama cerita misteri rumah ini. Hahaha. Tapi kasihan juga kalau kayak gini
ceritanya. Beliau sampai pucat kayak gitu.
Keesokan harinya, tanpa sepengetahuan
kami berempat, nyokap melapor kejadian malam itu ke pemilik rumah. Nyokap
benar-benar takut. Sebagai pemilik rumah yang bertanggungjawab, maka ibu
pemilik kontrakan berjanji untuk mendatangkan kyai untuk membersihkan rumah itu
dari setan-setan yang terkutuk. Nyokap lega, walaupun Ibu kontrakan datang
bersama kyai itu sekitar tiga minggu lagi, karena sekarang masih ada urusan
yang tak bisa ditinggalkan. Nyokap setuju.
Singkat cerita, Ibu kontrakan
betul-betul datang bersama dua orang bapak-bapak berbaju gamis dan kepalanya
ditutupi sorban. Wow, ini dia nih kyai yang dijanjikan si Ibu. Aroma parfum
firdaus murahan yang semerbak menggelitik gue ketika gue menyambut mereka di
ruang tamu. Fiuh, gue bersin berkali-kali. Gue memang sedang sendiri dirumah,
karena Tris, Arnand dan Wahyu sedang ada acara masing-masing.
“Yaudah mas, kita mulai aja ya bersihkan
rumahnya. Dari auranya memang terasa banyak banget mahkhluk gaib jahat di rumah
ini.” Kata salah satu kyai itu.
“Oke, Pak. Silakan dimulai aja.”
Kyai-kyai itu berjalan dengan pandangan
mengitari seluruh sudut rumah, lalu mereka masuk ke dalam kamar Tris. Entah apa
yang membuat mereka memilih kamar Tris untuk memulai ritualnya. Sungguh, gak
ada angin gak ada hujan. Baru sekitar tiga menit para kyai itu baca-baca mantra
(gue gak tau mereka baca apa, pokoknya berbahasa Arab, makanya gue bilang baca
mantra), listrik di rumah itu padam!
“Mas, ada lilin gak?” tanya Ibu
kontrakan.
“Ada, tapi aku cari dulu ya, Bu.” Jawab
gue. Gue memeriksa setiap ruang, mana tahu ada sebatang-dua batang lilin yang
bisa gue kasih ke si Ibu.
Karena dibeberapa ruang gue gak
menemukan sebatang lilin pun, gue pun masuk ke kamar Tris. Lantunan ‘mantra’
berbahasa Arab cukup terdengar jelas. Gue mencari lilin sambil menajamkan
pendengaran gue. Mana tahu gue bisa identifikasi apa yang sedang dibaca oleh
kedua kyai tersebut, tapi nihil. Tak ada satu kata atau kalimatpun yang pernah
gue denger. Gini-gini kan gue gak bego-bego amat soal agama. Jadi gue
bener-bener penasaran dengan apa yang mereka baca.
Akhirnya gue menemukan dua batang lilin
di meja kerja Tris. Gue nyalakan satu batang untuk menerangi kamar Tris dan
satu lagi gue nyalakan untuk menerangi ruang tamu. Tapi sebelum gue ke ruang
tamu, gue melihat salah satu kyai itu sedang membungkuk. Dari belakang sih
terlihat seperti sedang menulis. Karena penasaran, gue mendekati mereka dari
belakang, dan berusaha melihat apa yang sedang mereka tulis.
Sepertinya bukan hal yang biasa gue
lihat. Kyai itu menulis tulisan arab yang gue gak bisa baca karena tidak ada
tanda bacanya. Arab gundul, begitu yang biasa disebut oleh orang-orang. Tapi
yang lebih mengherankan, kyai itu menulis tulisan itu di secarik kertas persegi
berukuran kecil dan tulisannya mengelilingi kertas. Bukan cara menulis yang
biasa. Bagaimanapun, gue gak mau ganggu ritual mereka. Biarkan saja.
Setengah jam kemudian, Ibu kontrakan dan
dua kyai itu pamit pulang. Namun sebelum pulang, salah satu kyai menempelkan
sebuah lipatan kertas di kusen pintu utama.
“Jangan dicopot ya, Mas. Setan-setannya
udah diusir. Itu penangkal biar mereka gak masuk ke rumah ini lagi.” Kata kyai
itu. Gue cuma manggut-manggut sambil mengelus janggut..... Janggut milik kyai
itu, sambil bilang barakallah.
Hehehehe.
Lagi-lagi. Baru saja mereka pergi dari
rumah ini, listrik nyala lagi. Entah apa yang terjadi, seakan-akan kedatangan
kyai tadi seperti tak diharapkan. Tak lama kemudian, satu persatu warga
kontrakan pulang. Masing-masing dari mereka menanyakan hal yang sama.
“Wow, ada apa nih? Kok kayaknya beda ni
kontrakan?” tanya mereka.
“Entah ya. Tadi Ibu kontrakan dateng
bawa dua kyai. Sebelum pulang, kyai itu nempelin jimat di pintu.” Jawab gue
sambil menunjuk ke lipatan kertas yang ada di kusen pintu.
“Jimat?”
“Iya, katanya penangkal gitu. Jadi kyai
tadi itu bilang kalau setan-setan disini udah diusir, dan itu penangkal mereka
datang lagi. Tapi...” kalimat gue terputus.
“Lo semua ngerasa gak sih rumah ini
malah terasa lebih ‘ramai’?” tanya Tris. Gue, Arnand dan Wahyu mengangguk
pasti.
Ya, rumah ini bukannya terasa lebih
lega, malah semakin terasa sempit. Gue jadi ragu, sebenarnya kyai tadi tuh
ngusir yang ada atau malah mengundang yang lain untuk datang? Yang jelas, tidak
ada dari kami yang melepas ‘jimat’ itu walaupun tidak sreg dengan keberadaan jimat itu. Cuek saja lah.
* * * * *
Dua hari kemudian, tepatnya malam Jumat,
lima orang teman kelompok kerja gue datang ke kontrakan untuk mengerjakan tugas
bersama. Memang, sebagai mahasiswa teknik, mengerjakan tugas adalah kegiatan
kami sehari-hari. Tak mengenal jam ataupun malam minggu. Pokoknya tugas, tugas
dan tugas.
“Heh! Siapa nih yang kentut?!” tanya
Arnand saat kami sedang serius mencari referensi tugas.
“Kentut dari Hongkong. Ini sih bau
ketek! Siapa yang belum mandi?!” Gue ikutan protes.
“Lah? Idung kalian pada kenapa sih? Ini
bukan bau kentut, bukan bau ketek juga. Ini bau busuk. Lo nimbun sampah ya
Dhan?” kata Tami, salah satu teman sekelompok gue.
“Bentar-bentar, jadi sebenarnya ini bau
apa sih? Kok pada beda-beda gini?” tanya gue, tanpa menjawab pertanyaan Tami.
Soalnya tanpa gue jawab pun dia tau kalau gue emang suka nimbun sampah di belakang
dapur dan membuangnya dua minggu sekali. Hehehehe.
Randi, teman gue juga, berinisiatif
untuk mengecek kejadian ini bersama-sama.
“Ada yang kentut gak nih? Gak mungkin
setan yang kentut, kan?” tanya Randi. Kami semua tidak ada yang mengaku. Malah
ada yang sampai bersumpah segala.
“Sumpah, gue gak kentut. Boleh deh
ketemu sundel bolong kalau gue bohong!”
“Oke,” kata Randi lagi, “Cek ketek
masing-masing. Siapa yang keteknya bau?” Kami serentak mengangkat tangan dan
mencium ketek masing-masing.
“Aman!”
“Buset. Yaudah, Dhan, coba lo cek belakang
dapur, bener gak bau sampah yang lo timbun sama dengan bau ini.” perintah
Randi. Gue langsung bergegas ke belakang, membuka plastik sampah yang berukuran
besar itu dan nekat mencium aromanya. Puih!
“Buset, kampret bener ni sampah. Baunya
beda bro!” lapor gue kepada Randi.
“Dhan,
sekarang kan udah minggu ketiga gak hujan tuh. Coba
cek selokan di depan rumah. Kali aja bau karena selokannya kering.” Usul Wahyu
yang hidungnya juga terusik.
Gue langsung lari ke depan, disusul Tris
dan Wahyu. Arnand tetap di dalam rumah bareng temen-temen kelompok gue. Saking
penasarannya, gue langsung membungkuk mendekatkan hidung gue ke selokan kering
yang ada di depan pagar rumah kontrakan ini. Setelah menghirup berkali-kali,
malah hampir gak ada bau. Aromanya aroma lembab busuk gitu, tapi benar-benar
samar. Bisa dikatakan tidak ada bau, gitu deh.
Lagi asik hirup-hirup aroma selokan,
Tris menepuk pundak gue berkali-kali dengan cepat dan keras. Pukpukpukpukpuk!
“Apaan sih? Sabar dong!” protes gue. Gue
berdiri sambil pasang muka ke arah Tris. Tapi Tris malah melihat ke arah lain
dengan wajah shock. Gue refleks ikut
menoleh kearah yang sama dan memutar pandangan ke segala arah.
HIHIHIHIHIHIHIHIHI.....!!!!![1]
HOHOHOHOHAHAHAHAHA.....!!!!![2]
Tap...tap...tap...[3]
Sreek...sreek...[4]
Sateeeeee...!!!!![5]
“What
the.....” gue ikutan cengo bego karena terkejut dengan apa yang gue lihat saat itu.
Bagian ini, rasanya pengen banget lo
semua ada di posisi kami saat itu. Ada lima kuntilanak, tiga pocong, empat
suster ngesot, dua sundel bolong, dua genderuwo, dan entah apa lagi namanya.
Mereka semua menghadap ke arah kami. Berdiri di berbagai tempat. Ada yang di
halaman laundry, ada yang di antara pohon pisang, ada yang di aspal, ada yang
di atas tembok pagar, ada yang di atas dahan pohon besar, ada yang melayang,
ada yang duduk di teras kontrakan. Kami dikepung.
“Gak..beres..nih..” ujar gue pelan.
“Kalian semua ngapain kumpul disini?!” tanya Tris dengan lantang.
“HAHAHAHAHA, doi gak takut rupanya. Heh!
Harusnya kita yang nanya, kenapa undang-undang kita datang? Gue pikir ada
reunian.”
“Yeee.
siapa juga yang ngundang situ? Males juga ngundang-ngundang setan, kayak gak
ada kerjaan aja.” Kata gue.
Mendengar jawaban gue, genderuwo yang
satu lagi, yang berbadan tinggi besar kekar, bermata merah menyala, dan
bertanduk, tiba-tiba menggeram. Lalu dia berjalan ke arah gue dengan langkah
besarnya.
“Yey
[6]kira-kira
dong! Gilingan[7]
ah! Yey pikir datang kesindang[8] tintra[9]
pakai tumbal? Bayangkara[10]
harga tumbalnya maharani[11],
Nek! Endang[12]
aja yey bilang tintra ngundang. Rugi bandar dong eike[13],
masa kesindang cuma jali-jali[14]
doang? SDMB[15]!
Pokoknya eike tintra mawar[16]
tau, yey harus sediain pesta gedong[17]
buat eike, diana[18]
ama pere-pere[19]disindaaang!!!”
Genderuwo ini nyerocos dengan suara cempreng sambil mendekatkan wajahnya ke
gue. Setan-setan lain pada bersorak, “Ajojing,
ajojing, ajojing[20]!!!”
Ternyata dari jarak dekat, gue baru
sadar, mata merah menyala itu bukan karena dia marah, melainkan karena
genderuwo banci ini pakai eye shadow
merah norak. Dan gue juga mau minta maaf, karena yang tadi gue kira tanduk,
ternyata itu adalah rambut gimbal yang dikepang imut gitu deh. Karena rambutnya gimbal maka hasilnya bukan juntai kebawah, melainkan mencuat kayak tanduk. Dia ngomong
sambil nunjuk-nuntuk muka gue pake jari kelingking, itu pun jarinya ngetril.
Asli, mendadak capek batin gue gara-gara shock
ketemu genderuwo sekong[21]
kayak gini. Tapi bagaimanapun, gue harus selesaikan kampret-kampret ini segera.
Biar pada capcus[22]
dari muka gue. Huh!
“Heh bencong,
yey cacamarica[23]
pesta kesindang kan? Oke! Tapi ada
syaratnya. Pestanya harus syar’i. Tintra ada
yang pecongan[24], tintra ada minangan[25]
alkohol, tintra ada yang ganggu
tetangga dan yang paling penting adalah yey
semua harus mandole[26]!
Baunya gilingan Neeeekk!!! Eike kasih waktu lima menit. Kalau
syaratnya tintra dipenuhi, berarti tintra ada pesta gedongan disindang. Oke?”
Wush! Mereka menghilang.
“Lo ngucap mantra apa barusan, Dhan?”
tanya Wahyu.
“Gak tau, kayaknya gue kesurupan tuyul
banci nih.” Jawab gue seenaknya.
“Jadi lo berhasil ngusir mereka?” kali
ini Tris yang bertanya.
“Kagak juga sih. Genderuwo sekong tadi ngancem makan kita semua
kalau gak ada pesta. Yaudah gue bilang bakal gue sediain pesta, tapi mereka
harus mandi dulu. Biar kita gak keganggu ama bau kampretnya. Syaratnya, pesta
yang gue sediain pesta yang syar’i.”
“Buset dah.” Kata Wahyu dan Tris sambil
geleng-geleng.
“Gue curiga nih sama jimat yang dipasang
sama kyai kemarin. Waktu jimat itu ditempel, kalian bilang auranya malah terasa
lebih ramai kan? Jangan itu bukannya menangkal malah ngundang. Rese!” maki gue.
“Iya, Bang, bisa jadi. Mendingan setelah
perkara ini kelar, kita bakar aja tu jimat.” Usul Tris. Gue setuju banget.
Beberapa menit kemudian, mereka mulai
bermunculan satu persatu. Yang tercium sekarang adalah wangi melati dan
kenanga. Gak ada aroma lain.
“Eike minta lagi dong parfum melati yey.
Wanginya cucok ama eike, nek.” Terdengar genderuwo sarap
tadi lagi mohon-mohon minta parfum melati ke salah satu kuntilanak.
“Kagak ada! Elo tuh pake parfum bukannya
disemprotin malah diguyurin! Rugi!” jawab kuntilanak yang bersangkutan.
Akhirnya genderuwo itu manyun-manyun merajuk jijay karena gak dikasih.
“Oke, udah pada siap ajojing?!” tanya gue lantang.
“Yuuhuuuuu. Siap doooong!!!” jawab
mereka serentak.
Gue langsung lari ke kamar, meninggalkan
Wahyu dan Tris yang masih berdiri di depan rumah kontrakan. Sesampainya di kamar,
gue langsung menyetel lagu dan menambah volume suara speaker gue yang berukuran cukup besar.
♪ Lingsir wengi~ ♫
♪ Sliramu tumeking sirno~ ♫
....
Setan-setan gak tau diri itu langsung
ajojing, semakin lupa diri. Yap, ini lagu Lingsir Wengi, tapi yang gue setel ini
adalah versi dangdut techno hiphop nonstop lima jam.
Sementara itu, Tris dan Wahyu sudah
melepas jimat bertulisan Arab itu dari kusen. Sebelum dibakar, mereka membuka
lipatan kertas itu dan membacanya. Isinya, seperti yang gue bilang sebelumnya,
terdiri dari tulisan-tulisan Arab gundul yang samasekali gak bisa kami baca.
Daripada kontrakan ini jadi tempat ajojing setan setiap malam jumat, maka jimat
tersebut kami musnahkan. Bakar!
* * * * *
Di suatu siang yang panas dan gerah,
Tris yang masih berseragam putih-abu pulang dari sekolahnya. Gue bisa tahu dari
suara motornya. Sudah hapal. Terdengar Tris membuka pintu dan melangkah ke
dalam. Lalu hening sejenak, dan langkahnya jadi mengarah ke kamar gue.
“Bang. Ini STNK Bang Arnand, kan?”
Wah!
Gue langsung menoleh ke arah pintu
kamar, tempat Tris berdiri. Terlihat Tris sedang mengibas-ngibaskan STNK. Gue
berdiri dan menghampiri Tris, lalu mengambil STNK itu.
“Gue kan tadi jalan dari garasi lewat
lorong. Terus kerasa ada yang nimpuk kepala gue. Terus gue noleh ke belakang.
Tapi gak ada siapa-siapa. Begitu gue liat kebawah, gue liat STNK itu dilantai.”
“Iya ini punya Arnand nih. Wah parah.
Jadi selama ini disembunyiin setan? Kampreeet!” kata gue, “Tapi kok dibalikin
ya? Jangan-jangan omongan gue kejadian beneran. Yang ngambil tuyul galau. Terus
setelah tiga bulanan dia baru sayang kalau lembaran yang satu ini bukan duit,
makanya dibalikin. Mungkin gak?”
“Yaelah, ngapain juga tuyul balikin barang
yang dia ambil. Kalau gue jadi dia sih mending gue buang aja. Simpel, gak
repot.” Jawab Tris.
“Aha! Jangan-jangan dia ikutan ajojing pake lagu lingsir wengi dangdut
techno itu, terus hepi abis karena bisa ajojing bareng kunti-kunti, dan dia
berterimakasih ke kita. Makanya mau balikin STNK ini.”
“Ngaco aja lo, Bang.” Ujar Tris bete,
sambil meninggalkan kamar gue.
Tapi, kan, bisa jadi asumsi gue bener!
[1] Suara
kuntilanak ngikik
[2] Suara
genderuwo ngakak
[3] Suara
pocong lompat-lompat
[4] Suara
suster lagi ngesot
[5] Suara
tukang sate keliling lewat
[6] kamu
[7] gila
[8] kesini
[9] tidak
[10] bayar
[11] mahal
[12] enak
[13] saya
[14]
jalan-jalan
[15] Sori
Dori Mori Bow
[16] mau
[17] gede
[18] dia
[19]
perempuan-perempuan
[20] Joget;
ajeb-ajeb
[21] sakit
[22] pergi
[23] cari
[24] pacaran
[25] minuman
[26] mandi
* * * * *
Dwindown, 2015
tentang jimat ini silakan baca link:
http://buletin.dareliman.or.id/berita.php?id=14
http://buletin.dareliman.or.id/berita.php?id=14
image source:
http://buletin.dareliman.or.id/gambar/berita/RAJAH+RATU+SABA..jpg
3 comments
mas ini beneran gak sih ceritanya, horor horor bikin ngakak gimana gituu
BalasHapushahahaha,,sebenernya ini memang diambil dari kisah nyata.. kejadiannya tahun 2009-an gitu. Tapi ya dikombinasikan dengan komedi.. ini bukan blog horor, tapi blog "gilak" :p
Hapusah makin koplak... ini beneran kejadian probadi apa gimana sih?
BalasHapus