Kontrakan Mistis [1] : Kesurupan? Pocong?
Rabu, Juli 15, 2015Di sekitar jalan Kaliurang KM 12,5, bagian dari kaki Gunung Merapi yang secara administratif masuk ke dalam kabupaten Sleman, kabupaten terbesar di Daerah Istimewa Yogyakarta, terdapat sebuah rumah kontrakan yang sudah lama kosong. Tetangga sekitar bersaksi bahwa rumah itu tidak dihuni sejak lima tahun lalu. Pemiliknya pindah ke Surabaya. Rumah itu dikontrakkan namun belum pernah ada yang berminat untuk tinggal disana. Padahal bila kita melihat kondisi rumahnya, sebenarnya masih bisa dibenah lagi agar terlihat bersih dan bersinar lagi seperti rumah baru dan layak huni.
Rumah ini menghadap barat. Berseberangan
dengan sebuah rumah tua yang berfungsi sebagai tempat laundry. Tepat di sebelah
selatan laundry ini terdapat sederet pohon pisang dan sebuah sumur tua. Sebelah
utara rumah kontrakan ini masih berupa tanah luas dengan pohon-pohon besar dan
tanaman-tanaman liar. Gue yakin, tak akan ada yang berani memasuki hutan kecil
ini pada malam hari. Sebelah timurnya terdapat rumah tua yang tak kalah besar
dibanding rumah kontrakan tersebut. Bagusnya, rumah itu juga lebih sering
ditinggal daripada dihuni. Terakhir, seberang rumah bagian selatan, ada rumah
kecil yang dihuni oleh sepasang orang tua yang anaknya bekerja di luar kota.
Suasana tempat ini cenderung gelap dan
sepi walaupun di sekitarnya terdapat beberapa kost putra dan kost putri untuk
para mahasiswa. Ada sebuah warung kopi yang biasa disebut Burjo di bagian utara
laundry tersebut. Tempat ini terkategori memiliki kelembaban yang tinggi, dan
itu adalah hal yang paling disukai oleh makhluk halus. Tempat-tempat lembab
seperti kamar mandi, kamar berlumut, dan gudang serta dapur yang dingin, tempat
yang sangat nyaman bagi ‘mereka’.
Gue bisa menjelaskan detail suasana
rumah ini, juga suasana di sekitarnya, karena gue pernah menghuninya selama dua
tahun. Ya akhirnya rumah itu laku. Gue adalah orang yang pertama yang
mengontrak rumah itu dalam lima tahun terakhir.
Nama gue Adhan. Gue adalah mahasiswa teknik
tahun ketiga universitas swasta tertua di seantero Yogyakarta. Memilih rumah
ini bukan hal yang sulit buat gue. Melihat ukurannya yang luas, cukup membuat
gue tertarik untuk segera menyewanya. Bagi mahasiswa, terdapat ruang yang luas
adalah alasan yang cukup untuk memilih sebuah rumah kontrakan karena kami
mahasiswa lebih suka berkumpul dan beramai-ramai mengisi malam menanti pagi.
Rumah kontrakan yang luas adalah base
camp bagi kami.
Rumah ini memiliki dua kamar di bagian
depan. Itu kamar gue dan kamar adik gue, Tris, yang masih sekolah disebuah SMA
di daerah Cangkringan. Berjarak sembilan kilometer ke arah Merapi dari rumah
ini. satu kamar di tengah dan satu kamar di belakang. Terdapat dua kamar mandi
di bagian tengah dan bagian paling belakang. Masing-masing kamar itu ditempati
oleh teman kuliah gue, Arnand dan Wahyu. Kami tinggal berempat di rumah ini.
Sekitar satu bulan pertama kami tinggal
di sana, kami sudah mengetahui bahwa ada tiga bayangan hitam di kamar gue, satu
genderuwo besar di kamar Arnand, satu kuntilanak yang selalu menjelma menjadi
wanita yang sangat cantik dan dua tuyul di kamar Wahyu, dan satu kakek yang
sudah berusia ratusan tahun di kamar Tris. Tidak hanya itu. Masih ada pocong
dan suster ngesot di garasi, kera putih yang menyerupai Hanoman di kamar mandi
belakang, lima sosok hitam di gudang, tiga kuntilanak di dapur, dua kuntilanak
diruang tamu. Bila dijumlahkan dengan mahkluk-makhluk yang ada dihalaman depan
dan samping rumah ini, totalnya ada 37 mahkhluk.
Percaya atau tidak, satu hingga dua
bulan pertama adalah hal yang sangat berat untuk kami. 37 makhluk itu tidak
ada yang bersifat kalem. Mereka adalah
mahkluk-makhluk jahil yang tak lelah mengganggu kami. Mungkin itu adalah fase
ospek untuk kami yang baru menghuni kontrakan tersebut. Bagusnya, walaupun kami
sering mengeluh, tapi tidak ada yang menyerah dan pindah dari rumah itu.
Bagaimanapun, kami sudah menyulap rumah itu menjadi sangat nyaman untuk dihuni.
Kami betah walaupun gangguan tak henti datang silih berganti.
Tris yang mendapat jatah kamar di bagian depan, selalu
mendengar suara gamelan dari luar jendelanya setiap malam Jumat. Tak hanya itu, sering juga gamelan tersebut
diiringi nyanyian sinden jawa yang dapat membuat bulu-bulu berdiri merinding.
Hampir setiap Jumat pagi dia cerita ke gue apa yang dia alami. Tris juga tak
jarang kesurupan di rumah ini. Ya, dia memang orang yang paling rentan terhadap
dunia gaib.
Suatu malam, gue, Wahyu dan Arnand
sedang di ruang tengah. Kami mengerjakan tugas sambil menonton film yang kami
sewa. Tris sudah di kamar sejak beberapa jam lalu. Dia kan siswa SMA. Berbeda
dengan kami bertiga, dia harus bangun setiap pagi.
“@#$$%^#%^”
Tiba-tiba ada suara gumam yang
mendengung tapi tak jelas kata-katanya. Arnand yang lebih dulu sadar.
“Sssst...” dia meletakkan telunjuknya di
bibir sambil melihat gue dan Wahyu. “Lo denger gak?”
Tanpa bicara, gue menghentikan kegiatan
dan Wahyu langsung mengecilkan suara film. Kami memfokuskan pendengaran mencari
sumber suara. Sontak kami bertiga langsung menoleh ke pintu kamar Tris yang
tertutup. Sumber suara itu berasal dari kamar Tris!
Tak ada yang bergerak sebelum Wahyu
memberi isyarat untuk segera memeriksa kamar Tris, karena sejauh yang kami
tahu, Tris sudah terlelap dari tadi. gue melangkah perlahan dan membuka pintu
itu dengan gerakan yang sangat pelan. Gue tidak mau membuat suara baru yang
mencurigakan.
Kreeeet!
Gue membuka pintu kamar itu, dan...
“Astaghfirullah!!!” gue setengah teriak
karena terkejut.
Tris berdiri tepat dihadapan gue dengan
muka yang lebih hitam daripada seharusnya. Ekspresi mukanya seperti orang yang
sedang marah. gue melompat mundur, menjauhi Tris. Tapi Tris malah melangkah
mendekati gue.
“Gimana nih?” gue langsung menoleh,
melihat Arnand dan Wahyu yang ada di belakang.
“Tangkap!” kata Arnand dan Wahyu
serentak. Mereka langsung meringkus dan menjatuhkan Tris sampai Tris terbaring
telentang dengan tangan yang dipegangi Arnand dan kaki yang dipegangi wahyu.
Gue sebagai kakak yang peduli dengan
adik yang kesurupan langsung mengambil inisiatif untuk mulai menanyakan sesuatu
pada entah siapa yang masuk ke dalam badannya itu.
“Siapa lo?” Pertanyaan standar acara uji
nyali kalau ada responden yang kesurupan. Tapi memang itu hal yang mungkin
harus gue tanyakan pertama kali.
“Aaaaaarrghhh!! Haaah!!” Bukannya
menjawab, Tris malah berontak. Yang mengherankan, tenaganya jauh lebih besar
daripada biasanya. Arnand dan Wahyu kewalahan memegangi tangan dan kaki Tris
karena pemberontakannya. Padahal badan mereka sama besar.
Plak!!!
Gue menampar Tris di pipi kirinya.
“Heh Kampret! Berani bener ente gampar
ane! Ehm ehm... Ane jin dari Turki. Ane sudah berteman dengan Tris sejak
tiga tahun lalu.” Begitu kalimat jawaban yang gue dapat dari mulut Tris.
Setelah menjawab seperti itu, Tris kembali mengerang dan sesekali bergumam tak
jelas. Jin ini tingkahnya mirip kucing di musim kawin.
Gue heran, “Jin dari Turki ngapain main
ke Yogyakarta ya? Kenapa gak pergi umrah aja ke Mekah coba? Atau jangan-jangan
mau sungkem ama Nyi Roro Kidul?” pertanyaan yang sepertinya tak perlu dijawab,
tapi gue tanyakan pada Arnand dan Wahyu. Mereka hanya menunjukkan wajah bingung
dan mengangkat bahunya.
“Mungkin bosen umrah? Hehe.” jawab Wahyu
asal sambil cengengesan.
“Bisa jadi, hahaha! Gue curiga nih. Heh,
Tris, mau ngerjain ya? Masa jin dari Turki ngomongnya pake bahasa Indonesia?
Emangnya jin punya tempat les bahasa ya?” tambah Arnand.
Tris mengerang dan berontak lagi.
Gelagatnya kini berbeda karena kali ini wajahnya jauh lebih menyeramkan dan
suara erangan yang ia keluarkan lebih serak.
“Heh, pada kurangajar ya. Ente-ente pikir
ane bercanda?!”
“Oke, tujuan lo apa ke sini?” gue memberanikan
diri untuk menjawab kata-kata jin itu.
“Ane mau memperingatkan kalau orang yang
badannya lagi ane pake ini sedang dalam bahaya. Ada jin dari selatan, anak
buahnya Nyi Roro Kidul, sedang mengintainya karena menginginkan energi gaib
yang dia punya. Ente jaga ini orang. Jaga baik-baik, atau ane bakal ngejar ente.
AAAARRRRGH!”
Gue bengong, lagi. Seakan tidak percaya
dengan apa yang baru saja gue dengar. Dan diakhir omongannya, jin itu mengerang
dan pergi. Badan Tris lemas. Arnand dan Wahyu melepaskan pegangan mereka dari
tangan dan kaki Tris. Mereka juga cuma bengong.
Setelah diam sekitar tiga menit, Tris
membuka matanya dan melihat kami bertiga satu persatu.
“Pada ngapain lo?” tanya Tris.
“Emmmmm..... jadi barusan itu lo eror,
Tris. Lo kesurupan jin dari Turki. Katanya dia temenan ama lo sejak tiga tahun
lalu gitu. Katanya mau memperingatkan lo karena ada anak buah Nyi Roro Kidul
yang ngintai lo. Mau nyedot energi gaib lo. Gitu kan ya?” Gue cerita singkat,
sambil lihat dua pemuda yang kebanyakan bengong itu. Verifikasi, mana tahu
cerita gue salah. Tapi mereka diam, tanda tidak ada cerita yang salah.
“Ha? Jin dari Turki? Buset. Gue gak
punya temen jin dari Turki, men! Lagian gue kanca
kenthel [1]ama
Nyi Roro Kidul. Ngapain juga gue dicelakain ama pasukannya?”
“Hahahahaha. Berarti, jin tadi salah
masuk badan tuh!” kata Arnand.
“Buset, kayaknya lebih keren kena peluru
nyasar daripada kerasukan jin nyasar. Gue merasa malu. Hah!” Tris menundukkan
kepalanya. Hopeless.
“Ye meneketehe. Lo tanya aja jin galau
tadi. Gue kan cuma cerita sesuai apa yang dia omongin.” Jawab gue.
“Terus kenapa pipi gue pedes banget?”
Tanya Tris, lagi.
“Oh, tadi kan gue tanya dia siapa. Eh
gak dijawab. Kan gue jadi kesel. Yaudah gue gampar aja.”
“Sompret! Dia yang bikin ulah, gue yang
kena gampar!” maki Tris.
“Hahahaha. Ya setidaknya masih nyambung
dari pada gue gampar tembok.” Kata gue sambil lanjutin mengerjakan tugas yang
tertunda karena jin Turki. Wahyu dan Arnand melanjutkan nontonnya, tanpa
melanjutkan tugas. Sedangkan Tris, masih gak terima kena jin nyasar, tapi
kemudian dia kembali ke kamarnya dan melanjutkan tidurnya.
Satu jam berlalu dengan damai. Tapi
memasuk jam kedua, tiba-tiba listrik padam. Kelam.
“Aaaaaaakkk!!! Tugas gue!!! Besok
dikumpuliiiin!!!” Jeritan frustrasi pemuda tanggung yang belum dewasa. Oke, itu
jeritan gue.
Buk!
Sebuah bantal mendarat tepat dimuka gue.
Bisa-bisanya Arnand melempar dengan tepat dalam kegelapan kayak gini.
“Siapa yang ada di garasi? Si Tris?”
tanya Arnand kepada gue dan Wahyu dengan suara bisikan.
“Ha? Kan Tris udah masuk kamar. Ngapain
juga dia ke garasi?” jawab gue, ikut-ikutan berbisik.
“Oke, Nand, giliran lo yang ngecek.”
Wahyu memutuskan sepihak.
“Wah, ini garasi, coy. Masa gue ngecek
sendiri? Barengan laah. Itu suara lompat-lompat tuh, jangan-jangan pocong yang
di garasi lagi senam.”
“Hahahahaha. Ciye penakut ciyee...” gue
dan Wahyu malah ngejek Arnand. “Oke, ayo cek bareng-bareng.”
Gue, Arnand dan Wahyu jalan mengendap-endap
ke arah garasi. Kami harus melewati lorong sepanjang tiga meter untuk mencapai
ruang garasi. Lorong itu memaksa kami berjajar kebelakang. Apesnya, gue jadi
di depan sendirian, Wahyu ditengah dan Arnand paling belakang. Tris? Dia sungguh no problemo sama sekali.
Karena gue yang ada di posisi paling
depan, gue lah yang pertama kali melihat kondisi garasi yang juga gelap itu.
Dan...
“Kampret, beneran pocong yang
dipojokan.. Sial!” makian berbisik itu terlontar dari mulut gue untuk
menginformasikan situasi garasi ke Wahyu dan Arnand.
“Sumpeh lo? Gimana nih?” tanya Arnand.
“Gimana kalau kita pura-pura gak tau?”
tanya gue sambil menoleh kebelakang.
Wahyu tidak menjawab, malah dia melotot
kearah gue. “Men, sori nih ya, tapi pocongnya udah ada tiga langkah didekat
lo!” Kata Wahyu, masih dengan berbisik tapi nadanya panik. Gue langsung memutar
kepala gue lagi kearah depan.
Sial! Gue bertatap-tatapan dengan mata
putih milik pocong itu. Gue terpaku. Ada rasa takut yang membuat badan gue gak
bisa digerakin.
Perlahan sekali, pocong itu mulai
menekuk lututnya lagi. Dan.... Hop! Dia melompat sekali lagi agar semakin dekat
dengan gue...
Srek! GLUDAK!
“Lah? Ilang?” kata gue, sedikit takjub.
“Bunyi kenceng gitu kok lo bilang ilang
sih. Tuh, dibawah. Lagi telungkup.” Kata Arnand sambil menunjuk kearah kaki
gue.
Gue menunduk dan melihat seonggok pocong
lagi telungkup pas diperbedaan ketinggian lantai lorong dan lantai garasi.
Lantai garasi memang lebih rendah sekitar lima belas centimeter dari lantai
lorong.
“Mampus, mukanya kena ujung keramik
men!” jerit Wahyu makin panik.
Gue yang masih takjub melihat pocong
ajaib itu justru mencari tahu penyebab dia jatuh. Gue mengeluarkan ponsel gue
dan mengaktifkan mode senter. Begitu senter ponsel menyala, pocong itu hilang.
Gue memperkirakan dimana posisi kaki si pocong tadi dan melihat apakah ada
sesuatu yang membuatnya terjatuh memalukan seperti tadi.
“Bhuhuhuhusehehehet, doi kepleset kresek,
coy! Hahahaha.” Sambil tertawa, gue menunjuk kresek kecil berwarna hitam yang
ada dilantai garasi itu. Arnand dan Wahyu sudah tidak mampu berkata-kata lagi
untuk merespon omongan gue. Mereka sudah berguling-guling di lantai saking
gelinya.
Setelah tawa sedikit reda, kami sepakat
untuk kembali ke ruang tengah. Gue, bermodalkan lampu flash dari ponsel dan beberapa batang lilin, melanjutkan tugas.
Untung saja baterai laptop gue sudah penuh. Arnand dan Wahyu, mereka malah
membahas pocong tadi. Rasa takut yang sempat menguasai kami seakan tak pernah
ada kalau mendengar bagaimana mereka tertawa dan mengejek pocong itu.
“Gue yakin, tuh pocong langsung hilang
waktu senternya nyala gara-gara udah tengsin berat. Gaya udah kece, tau-tau
kepleset. Jangankan pocong, manusia aja tengsin parah. Hahahaha.” Kata Wahyu.
“Hahaha. Gue yakin, besok-besok dia
munculnya gak pake muka. Berani taruhan? Hahaha.” Arnand menambahkan.
“Rese lo, setan aja
dijadiin bahan taruhan.” Gue yang gak ikutan aja jadi tertawa karena mendengar kata-kata mereka. Entah
bagaimana perasaan pocong yang diejek-ejek kayak gini. Mau muncul lagi juga
udah tengsin berat kayaknya. Kasihan.
[1] Teman
akrab ; sahabat kental
* * * * *
Dwindown, 2015
image source:
https://gugundesign.files.wordpress.com/2008/04/swannreppic6.jpg
0 comments