Tentang Polisi (Lagi)

Rabu, Juni 24, 2015


Anyway, gue punya banget cerita untuk dibagikan. Kali ini gue mau bahas soal Polisi versus Masyarakat. Bukan bro, bukan tentang berita bentroknya polisi dan masyarakat, tapi ini adalah cerita curahan hati para polisi ke gue tentang kehidupannya, profesinya dan bagaimana mereka beroperasi (yang tentu saja) sebagai polisi.

Sebagaimana gue mempertanyakan (Pandangan Terhadap Polisi) kenapa polisi sebegitunya dihindari masyarakat pada waktu yang sebenarnya mereka membutuhkan polisi sebagai problem solver. Dan akhirnya, sebulan lalu, adik gue, Wendo, kecelakaan di Jalan Wonosari KM 8 dan gue harus berurusan dengan polisi dari LakaLantas Polres Bantul. Motor Wendo yang remuk dan motor yang dia tabrak disita sebagai barang bukti. Pengurusan ini hanya menghabisnya waktu 1 minggu. 2 hari bolak balik Sleman-Bantul, dan 3 hari kemudian gue udah bisa ambil motor gue. Dari sinilah gue mendapatkan kesempatan mendapatkan cerita mereka yang berprofesi sebagai polisi lalulintas, termasuk kesulitan mereka menyandang nama polisi dalam hal bersosial dan beroperasi.



Kecelakaan Lalulintas

Mayoritas masyarakat cenderung enggan berurusan dengan pihak kepolisian. Bagaimanapun caranya, jangan sampai punya urusan dengan polisi. Alasannya bermacam-macam. Bisa "akan keluar banyak duit", bisa juga "ada barang yang disita", "atau "nanti urusan jadi tambah ribet". Dalam beberapa keadaan yang mendesak pun, masyarakat tetap enggan berurusan dengan kepolisian. Misalnya kecelakaan lalulintas. 

Ketika terjadi kecelakaan, misalnya tabrakan, baik salah satu maupun kedua belah pihak akan segera menyelesaikan perkara sebelum polisi datang. Bagaimanapun caranya, jangan libatkan polisi dalam perkara tersebut. 

Terkait dengan kecelakaan, hal selanjutnya yang perlu dipikirkan (apalagi korban mengalami luka serius/ patah tulang/ apapun) adalah biaya pengobatan. Kalau jadi orang yang ditabrak, mungkin bisa menuntut si penabrak untuk minta ganti rugi berupa menanggung semua biaya pengobatan. Biaya pengobatan bukan cuma alkohol, obat luka ama kapas doang ya. Tapi bisa jadi biaya operasi, opname, dan lain-lain yang biayanya tidak bisa dikatakan sedikit. Bagaimana kalau posisinya sebagai penabrak tapi malah luka-luka dan patah tulang? Sudah mengganti kerugian yang ditabrak, juga harus membayar sendiri biaya pengobatannya.

Tahukah anda, bahwa setiap kali membayar pajak kendaraan atau memperbaharui STNK itu ada biaya asuransi Jasa Raharja? Buat yang belum tau, gue kasih tau nih ya.

Setiap terjadi kecelakaan lalu lintas, baik lo sebagai penabrak maupun ditabrak, di mata hukum kedua-duanya berstatus korban. Bagaimanapun tidak ada yang mau mengalami kecelakaan. Beda cerita katau ada salah satu pihak yang sengaja menabrak, itu urusannya di bagian kriminalitas, bukan lakalantas lagi. Biaya pengobatan korban-korban kecelakaan lalulintas ini akan ditanggung oleh Jasa Raharja sejumlah maksimal sepuluh juta rupiah. 10 juta rupiah. Rp 10.000.000,00. Jelas? Oke, berarti sadar kalau angka segitu sudah sangat lumayan untuk menutupi biaya opname, operasi dan lain-lain. Bahkan bisa jadi tidak perlu menambah biaya pribadi lagi.

Tapi untuk mendapatkan tanggungan Jasa Raharja, lo harus punya surat polisi yang melaporkan kecelakaan tersebut benar adanya, dibuktikan dengan adanya barang bukti berupa kendaraan dan keterangan saksi. Itu semua akan dikumpulkan oleh polisi, bila kita langsung lapor dan polisi langsung ke TKP untuk mengurusnya. Bagaimana kalau lo gak lapor saat itu juga? Ya lo gak bakal dapat surat laporan tersebut dan Asuransi Jasa Raharja gak bakal nanggung biaya pengobatan lo. Bayar sendiri deh.

Dalam hal ini, keluhan utama polisi (terutama bagian lakalantas) yaitu mereka yang mengalami kecelakaan tidak segera melaporkan dan ketika mereka membutuhkan asuransi tersebut, mereka baru melaporkan kecelakaan tersebut untuk mendapatkan surat laporan yang menjadi syarat utama itu. Bagaimanapun, syarat untuk menerbitkan surat laporan, polisi harus punya barang bukti dan saksi (minimal dua orang).

"Giliran kecelakaan, kehadiran kami ditolak-tolak terus. Tapi giliran masuk rumahsakit, mereka baru pada datang. Kami ini dianggap polisi atau orang Jasa Raharja? Lagipula, setelah menolak kami untuk mengurus perkaranya, mereka datang ke kami minta dibuatkan surat laporan. Kalau rumahsakit dan Jasa Raharja punya syarat dan ketentuan, kami pun punya. Gak bisa sembarang bikin laporan, mas!" keluh bapak Polisi ke gue. Gue cuma manggut-manggut sambil elus janggut.

Galau Operasional

Siapa yang tidak tau kalau untuk mengambil kendaraan yang disita polisi itu ada uang administrasinya? Gue pikir, mayoritas dari kita sudah tau hal ini.

Sebenarnya tidak ada ketentuan administratif yang menentukan angka rupiah yang harus kita keluarkan untuk menebus barang bukti yang disita polisi. Sayangnya, angka tersebut akan selalu ada. Mengapa?

Alasan yang kemukakan oleh kenalan gue ini adalah mereka memang melayani, tapi mereka bukan pelayan. Anggap rupiah tersebut adalah tips untuk kinerja mereka yang sudah berusaha menolong kita. Gak terima? Iya, gue awalnya juga berpikir seperti itu. Tidak terima hal ini terjadi karena berpikir bahwa polisi sudah digaji oleh negara untuk melayani kita. Memang betul. Tapi ketahuilah kawan, mereka hidup sangat pas-pasan dengan gaji tersebut.

Gue juga mempertanyakan, seberapa sulit sih kehidupan mereka sampai-sampai harus "malakin" masyarakat? Ternyata jawabannya cukup tak terduga oleh gue sendiri.

"Mas tau gak kalau kami ini selalu kekurangan biaya operasional, padahal operasi kami banyak. Ya kecelakaan, ya razia, ya macam-macam. Kami selalu menggalaukan perkara yang sama setiap waktu. Yang pertama, berangkat pakai mobil yang mana? Karena gak semua mobil yang ada disini siap dipakai. Yang kedua, ketika mobilnya sudah ada, bensinnya ada atau nggak? Yang ketiga, kalau gak ada bensin, beli bensin pakai uang siapa? Seriusan mas, dana operasional kami sangat pas, malah kurang karena bukan cuma untuk bensin, tapi juga biaya komputer, tinta, kertas dan lain lain ini pengadaannya pakai uang operasional unit yang saya bilang PAS tadi itu. Yang keempat, kalau perkaranya gak cepat selesai, dimana kami menginap dan bagaimana dengan makan kami? Karena kami sangat sangat jarang dapat 'uang jalan' setiap kami keluar kantor. Apakah kami yang digaji pas-pasan ini harus menanggung biaya itu dengan uang sendiri? Terus 'yang dirumah' mau makan apa mas?"

Gue cuma cengo dengar jawaban itu. Lalu doi nambahin :

"Beda cerita kalau KPK mas. Kalau KPK, jangankan untuk pengadaan meja, komputer, printer, tinta, kertas yang sepele kayak gini, karena pulsa mereka aja udah gak mikirin. Semua sudah ditanggung. Kami ini yang kesulitan." (ini dia yang gue belum tau kebenarannya, karena gue gak punya kenalan yang kerja di KPK untuk ditanyai tentang kebenaran kalimat tambahan ini.)

Harga Diri Polisi

Polisi ini menceritakan betapa keselnya mereka ketika mendapat tugas menjaga proses berlangsungnya demo mahasiswa. Apalagi yang anarkis. 

"Coba mas bayangin, kami sudah berangkat dari pagi. Malah belum sempat sarapan. Kami tungguin mereka-mereka mahasiswa yang berdemo itu sampai siang. Kami pakai seragam lengkap dengan shield. Mau kencing aja kan susah mas, harus buka-buka seragam lengkap itu. Kami menahan lapar dan kencing sambil terjemur. Setelah itu, mahasiswa mulai anarkis dan melempari polisi pakai tai, plastik berisi kencing, sampah dan lain-lain. SIAPA YANG GAK EMOSI MAS? Dan yang lebih emosi lagi ketika melihat infotainment atau berita di tv. Giliran polisi yang dikeroyok mahasiswa, gak pernah diliput. Giliran kami yang lagi gebukin mahasiswa, liputannya bisa diulang-ulang sampai berhari-hari. Bayangkan bila mas ada diposisi kami.. EMOSI GAK?"

Lagi, gue cengo lagi. "Iya lah pak. Kalau saya sih, gebukin atau nggak, image udah jelek juga, mending gebuk sekalian.. Puas. Untuk saya bukan mahasiswa pendemo atau polisi yang jagain demo, hehehehe."

Ya, mana rasa kemanusiaan kita untuk saling menghargai dan menghormati sesama manusia? Mereka memang polisi. Tapi mereka juga manusia. Tidakkah ada rasa kemanusiaan yang bisa kita gunakan untuk menanggapi mereka?

* * * * *

Ini cuma sebagian cerita dari hasil ngobrol-ngobrol gue bareng mereka. Yang jelas, mereka para polisi bagian Lakalantas POLRES Bantul itu sempat mengutarakan rasa senangnya karena ada orang kayak gue yang punya keingintahuan tentang keadaan mereka yang sebenarnya dan berkomunikasi dengan mereka dengan cara yang sopan dan baik-baik. Yeah, slenge'an pun harus tau dimana tempatnya, pada siapa orangnya, dan kapan waktunya. 

Himbauan untuk kita semua sih, mending kalau terjadi kecelakaan, segera hubungi polisi agar semuanya bisa diurus dengan cepat, termasuk urusan Asuransi Masyarakat Jasa Raharja untuk menanggung biaya pengobatan. Mereka ada memang untuk melayani kita. Dan mari kita bedakan POLISI dan mana OKNUM. 

OKNUM adalah sosok terkampret yang ada disemua profesi disemua tempat yang memanfaatkan sesuatu untuk mendzalimi orang lain demi keuntungan pribadinya. Karena merekalah, salah satunya profesi polisi, sekarang memiliki citra buruk di mata masyarakat.

* * * * *

This post is dedicated for POLRI and JASA RAHARJA
"Mari hargai mereka dan usaha mereka dalam melayani masyarakat"

Dwindown, 2015

You Might Also Like

4 comments

  1. wah baru tau mas, kehidupan polisi yg sebenernya kek apa. makasih infonya, biar ga salaj paham sama pak pol.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyaa,,kasian lah ya, mereka udah berjuang, tapi malah diusir-usir.. dipikir2, kapan kita bisa kayak luar negeri yang ada masalah apapun, nelpnya 911 (police hotline) hahaha :))

      Hapus
  2. Dulu pas kecelakaan juga sempet tu polisinya curcol pas lagi di BAP. Sama lakalantas Jogja malah ngerasanya kayak diarah-arahin gitu biar bisa ngurus jasa raharja. Dan mulus dapet uang balik :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. alhamdulillah...
      sebenernya klo mau ngurus sih semua baik2 aja..ikutin aja prosedurnya gimana.. pada dasarnya, prosedur bukan untuk mempersulit, tapi mempermudah urusan..
      lebih baik lagi klo diawali dengan bismillah. :D

      Hapus