Tanggal Dua di Setiap Bulan

Rabu, April 02, 2014

"Aku lebih baik di Indonesia saja, menghabiskan hidupku dengan tetap bisa bertemu kamu. Operasi itu kemungkinan berhasilnya cuma 15%. Aku tidak mau mati di negara orang. Aku memilih mati disini, dekat dengan kamu."

"Tapi kamu sama saja bunuh diri kalau hanya menunggu kanker itu membunuh kamu. Setidaknya ada usaha untuk sembuh."

"Kalau gagal, aku mati. Kalau berhasil, mungkin bukan aku yang pulang ke Indonesia."

"Maksudmu?"

"Kalau berhasil, tetap ada resikonya. Aku bisa saja lumpuh, hilang ingatan, atau yang lainnya. Bisa jadi aku pulang, hidup, tapi tidak kenal lagi sama kamu. Aku gak mau!"

Pilihan ini sulit. Menentukan salah satu dari pilihan yang ada pun terlalu berat. Rammy perang batin antara mengikuti ego, atau mencari yang terbaik untuk semua. Kanzi bukan hanya berarti bagi Rammy, tapi juga bagi keluarganya, anak-anak asuhnya, juga teman-temannya. Semua membutuhkan Kanzi. Rammy tahu bahwa dia harus benar-benar menghilangkan egonya untuk memilih, karena Kanzi hanya mendengar omongan Rammy. Keluarganya saja gagal membujuk Kanzi untuk berobat.

Saat itu Rammy hanya bisa terus membujuk Kanzi untuk tetap berobat dan operasi, seraya meyakinkan diri sendiri bahwa Rammy juga sanggup menerima segala resikonya. Tapi ini tentang hidup dan mati yang tercinta. Pilihannya hanya dua, menikmati waktu yang sudah divonis, atau merelakan keberangkatan pengobatan diluar negeri dengan berbagai macam resiko. Rammy tahu, cepat atau lambat kematian memang akan memisahkan mereka. Membiarkan Kanzi tidak berobat mungkin memberikan waktu lebih lama daripada berangkat operasi dan pulang tinggal nama. Tapi, waktu akan lebih panjang bila operasi Kanzi berhasil dan pulang dengan kondisi hidup. Yah, walaupun ada resiko lumpuh atau hilang ingatan, atau yang lainnya.

Rammy mengenal dan mencintai Kanzi yang sudah mengidap kanker otak stadium tiga. Bahkan Kanzi juga sudah menceritakan vonis dokter yang mengatakan usianya tak lama lagi. Rammy tetap tak ragu membiarkan hatinya mencintai Kanzi. Baginya, siapapun berhak mencintai dan dicintai. Termasuk Kanzi. Rammy memang belum lama kenal dengan Kanzi, tapi mereka seperti pasangan yang sudah lama bersama.

"Rammy, aku butuh kamu didekat aku. Bukan berobat yang aku inginkan, tapi bersama kamu. Ruang operasi itu tidak akan mengizinkan kamu menemani aku berjuang. Waktuku pun akan lebih singkat. Operasi gagal, aku sudah tidak akan ada lagi. Aku hanya inginkan kamu. Aku hanya ingin menghabiskan waktuku sama kamu. Lebih baik satu minggu bersama kamu daripada aku berobat berbulan-bulan diluar negeri dan aku tetap mati karena kemungkinan gagal yang terlalu besar. Aku takut, Rammy. Aku takut."


"Aku juga gak mau kehilangan kamu, Kanzi. Aku cuma ingin waktu kita bisa lebih panjang. Memang kemungkinan keberhasilannya sangat tidak imbang dengan kegagalannya. Tapi kita harus berusaha. Bukan berdiam diri. Jangan terus-terusan berpikiran gagal. Masih ada kesempatan untuk berhasil. Tuhan tahu mana hambanya yang berusaha, dan pasti akan memberikan yang terbaik bagi yang berusaha sungguh-sungguh."

Rammy berhasil meyakinkan Kanzi. Kanzi berangkat bersama keluarganya. Tinggal di apartemen yang tak jauh dari rumah sakit khusus penanganan kanker. Mulai menjalani pemeriksaan dan pengobatan serta menentukan tanggal operasi dengan mempertimbangkan kondisi fisik Kanzi. Butuh persiapan yang menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk meningkatkan kondisi fisik agak Kanzi siap untuk di operasi.

* * * * *

Siang itu cuaca sangat panas. Rammy baru saja pulang dari kantor kliennya. Handphonenya berdering. Rammy langsung tersenyum bahagia. Nama Kanzi tertera dilayar handphonenya. Tiga jam lalu, Kanzi pamit dan meminta doa pada Rammy agar operasi hari itu lancar. Kini Kanzi akan memberi kabar baik, pikir Rammy. Rammy menerima panggilan tersebut.

"Rammy, sabar ya Nak. Kita semua sudah berusaha sebaik-baiknya. Tapi Kanzi tidak mampu lagi bertahan dengan kondisinya yang semakin hari semakin kritis. Kankernya sudah terlalu bahaya dan terhitung sangat terlambat untuk ditindak karena dia selalu menutupi kenyataan bahwa dia sakit. Kami akan berangkat ke Indonesia besok membawa jasad Kanzi. Kamu bisa menunggu kami dirumah. Kamu bisa ikut kami ke makam abangnya Kanzi. Mungkin Kanzi sudah bercerita bahwa Kanzi ingin dikuburkan disamping makam abangnya. Sabar ya Rammy, ikhlaskan. Maafkan segala kesalahan Kanzi."

Kalimat yang diselingi isak tangis Ibunda Kanzi ini layaknya petir disiang bolong dan langsung menyambar ubun-ubun Rammy. Handphone terjatuh. Rammy pingsan tanpa sempat bicara apapun.

* * * * *

Rammy mengambil spidol merah dan melingkari angka dua di kalender bulan April. Hari ini tanggal dua April. Tanggal dua. Tanggal saat pertama kali Rammy mengenal Kanzi. Rammy tertegun. Menatap lama pada angka itu. Seakan-akan angka itu menjadi layar monitor yang menampilkan reka ulang memori-memori yang seharusnya sudah terhapuskan waktu. Keberhasilan Rammy membujuk Kanzi, yang berkali-kali membuang obat harian yang menyokong hidupnya, untuk berobat lebih serius diluar negeri justru menyisakan penyesalan. Wanita tercintanya telah kalah oleh penyakit yang diidapnya selama bertahun-tahun.

Matanya kembali meneteskan air mata bulanan. Ya, Rammy menangis disetiap tanggal dua, setiap bulan. Air matanya mengalir seiring mengalirnya reka ulang ceritanya bersama Kanzi dibenaknya.

* * * * *

Dwindown, 2014

You Might Also Like

0 comments