Cinta Dua Dunia

Sabtu, April 05, 2014

Mataku merah karena lelah tapi masih saja melihat pada layar kerja yang silau ini. Tanganku masih saja asyik mengoperasikan komputer untuk menyelesaikan pekerjaan yang sudah ditagih oleh klien. Sunyi. Aku memang tidak menyetel musik apapun malam ini. Aku menikmati kesunyian ini.

Drak!!!

Suara kursi menggeret lantai sangat keras. Aku langsung keluar ruang kerjaku. Mencari sumber suara. Aku menelusuri seluruh rumah ini. Dan akhirnya aku yakin suara itu berasal dari dapur. Aku memang meletakkan meja kursi yang belum terpakai di dapur. Karena ruangan dapur rumah kontrakan ini memang terhitung luas.

Aku berjalan menghampiri ruang belakang ini. Memeriksa apa betul ada meja atau kursi yang berpindah posisi. Dan... yak, benar saja. Ada sebuah kursi yang berputar. Aku sendiri disini. Tak ada siapa-siapa. Lalu aku memutar pandangan, mencari sosok. Siapa tahu temanku yang iseng ingin mengagetkanku.

Astaga!


Sosok perempuan umur belasan tahun, berambut pendek, berpakaian putih, dan tersenyum imut, dia muncul dari pintu belakang dan diam menatapku dari tempatnya berdiri. Aku terdiam, dia pun. Cantik, ujarku dalam batin.

"Terimakasih." Tiba-tiba sosok itu angkat bicara. Butir-butir keringat dingin keluar dari pori-pori keningku.

"S-sama-sama..." jawabku.

"Aku Salar. Kamu siapa?" tanyanya.

"Aku Guza."

"Salam kenal. Aku senang kamu datang kerumah ini dan menempatinya. Maaf kalau aku sering mengganggu kerjamu. Aku cuma ingin menemanimu kerja." ujarnya.

"Apa? Sejak tinggal disini memang aku merasa diperhatikan, jadi kamu benar-benar ada di belakangku setiap aku serius dengan komputerku?"

"Oh, kotak hitam itu bernama komputer, ya? Iya, itu aku. Maaf kalau membuatmu risih."

"Iya, gak masalah kok. Lantas untuk apa kamu menampakkan diri?" aku masih dalam proses memberanikan diri.

"Aku suka sama kamu. Tapi aku tahu kita beda dunia. Jadi, ya aku hanya menemanimu saja. Aku tidak melakukan hal yang lebih dari itu." jawab Salar.

"Apa?" aku melongo, tak percaya apa yang baru saja kudengar.

"Hahahaha." Salar tertawa, "tenang saja, aku tidak memintamu untuk jadi kekasihku. Aku hanya mau berteman denganmu."

Aku paham. Oke, aku harus terima bahwa ada sesosok gaib yang naksir padaku. Masalahnya dimana? Sepertinya tidak ada, dia sportif dan tahu diri. Dia sadar bahwa perasaannya tidak boleh nyata, sama seperti wujudnya yang tak nyata. Perkenalan hari ini pasti akan berefek pada hari-hariku kedepannya.

* * * * *

"Hey, kamu sudah merokok banyak sekali!" Salar mengagetkan aku yang sedang serius pada proyekku. Nada ketusnya cukup membuatku melonjak dari kursiku.

"Salar! Apaan sih, bikin kaget aja." protesku.

"Kamu sih. Oke stres, aku ngerti, tapi kamu sudah merokok terlalu banyak. Lihat ruangan ini, sudah seperti ruangan yang sedang kebakaran!" Salar malah protes balik.

"Iya okeeey, kamu ini bawelnya sudah seperti pacar saja. Percuma aku jomblo kalau masih saja diatur-atur." aku merengut.

"Hahahaha, aku kan gak cuma suka sama kamu, aku juga sayang kamu."

Deg!

"Salar, gak usah bikin aku jantungan dengan kalimatmu."

"Aku kan cuma jujur aja. Jarang-jarang lho gaib tu jujur."

"Okeee, terserah kamu." aku mengambil sebatang rokok lagi dan membakarnya.

"Nah kan, bandel banget, udah diingetin malah diterusin."

"Gak usah bawel dulu, kepalaku sakit Sal, mending kamu buatin aku kopi. Katanya sayang sama aku, aku lagi butuh kopi nih. Buatin gih."

Giliran Salar yang merengut. "Aku gak bisa Za. Maaf."

"Ya jelas aja gak bisa. Hahahaha. Aku cuma bercanda Salar. Maaf, jangan cemberut gitu dong. Imutnya ilang ntar." godaku. Salar tersenyum kembali.

Goda? Sepertinya kini aku yang bermasalah. Kenapa aku malah menggoda sosok gaib seperti Salar? Aku pasti sudah gila. Aku memang tidak peduli dengan pernyataan suka atau sayang yang disampaikan Salar, tapi kenapa aku tidak rela wajahnya kehilangan senyum? 

Pikiranku kacau memikirkan kalimat terakhirku sendiri. Fokusku sudah buyar. Proyek bukan satu-satunya yang bersemayam diotakku. Ada yang lain yang kupikirkan. Apalagi dan siapa lagi, kalau bukan... Salar!

* * * * *

Dwindown, 2014

You Might Also Like

0 comments