Relevansi Sistem Pendidikan (?)

Minggu, September 21, 2014





Okay, melanjutkan tulisan gue sebelumnya, yaitu Tentang Sistem Pendidikan (?)

Postingan ini masih berupa diskusi lebih lanjut tentang pendidikan.

Mengamati fenomena pendidikan yang semakin lama semakin absurd. Yang absurd tuh fenomenanya, bukan pendidikannya. Mungkin ada beberapa poin yang bisa diklasifikasikan. Yaitu "Perbandingan Internal" dan "Perbandingan Eksternal". Konteksnya seputar metode belajar-mengajar. Mungkin bakal terbahas antara guru-siswa dan dosen-mahasiswa. Kita sederhanakan aja menjadi pengajar dan pelajar.

Perbandingan Internal

Mungkin memang zaman emak gue sekolah ama zaman gue sekolah bisa beda. Belum lagi kalo liat perbedaan antara zaman emak gue sekolah dan zaman anak sekarang sekolah. Pasti beda jauh. Evolusi zaman ternyata sedang berlangsung dan akan terus berlangsung. Seiring dengan kurikulum yang terus di update, selalu banyak perubahan yang juga berefek pada karakter pelajar. Contohnya, gue masih masih di SMP saat poin penilaian bertambah, yaitu nilai afektif dan psikomotor. Harapannya mungkin, mungkin ya, biar keaktifan pelajar bisa lebih kritis dan etis.

Dulu, masih oke lah ada pengajar yang jepret-jepretin rotan ke pelajar. Nyokap gue salah satu korbannya, ya walaupun emang karena kesalahan nyokap gue sih. Tapi sekarang, pengajar melakukan hal yang sama, langsung di kasus. Beda zaman broo.. kita sebut sebagai jaman jahiliyah.

Jelas-jelas jaman gue sekolah masih tulis tangan, dan gue mulai pake laptop waktu semester dua kuliah. Tapi sekarang kan dari SD aja udah pake laptop men. Canggih~
Nah terus, rotan tadi buat jepretin apaan sekarang? Jadi alas laptop biar bodi bawahnya gak panas?

Gue kenal internet waktu kelas SMP, dan saat itu sama sekali gak ada sosial media. Jangankan kenal orang luar negeri, untuk kenal beda RT aja gue mesti keluar rumah dulu. Jaman sekarang, bocah SD aja relasinya udah asik. Saling cerita pengalamannya masing-masing. Bahasa inggrisnya cas cis cus mamen~

Dan zaman gue, kenal dunia luar masih gagu teknologi. Paling dari buku. Masih berlaku kok kalimat "buku adalah jendela dunia". Walaupun google udah eksis, tapi gue belum kenal. Komputer masih cuma untuk main game. Hehehehe. Zaman sekarang, "tanya mbah google aja"....

Apalagi ya? Sampai disini aja, coba kita tela'ah yang tersirat....

Rotan, sebagai hukuman. "pecut" biar pelajar sadar kesalahannya, ingat sakit hukumannya, kapok..
Teknologi, sebagai alat. ini nih yang mempermudah semua proses. Jadi lebih santai, jadi lebih mudah.
Internet, sebagai media. Wawasan jadi lebih luas, cuma dari kamar atau kelas, bisa tau dunia...

Perbandingan Eksternal

Akhirnya, memasuki era globalisasi, muncullah artikel-artikel yang membandingkan pendidikan Indonesia dengan negara-negara maju. Banyak judge yang diterima oleh pendidikan Indonesia.

Misalnya sistem pendidikan Indonesia terendah di dunia, yang bercerita tentang diposisi mana pendidikan Indonesia dimata dunia atau negara lain, biaya pendidikan, gambaran tentang beberapa bidang ilmu, kepercayaan sosial atas pentingnya pendidikan, dan kualitas pengajar.

Lalu citra pendidikan Indonesia (1), yang berbicara tentang pandangan orang dalam dan luar negeri tentang citra pendidikan Indonesia dan dibandingkan dengan citra pendidikan Jepang, China, Korea Selatan dan Singapura, adanya 'lingkaran setan' dan banyaknya aspek dalam pendidikan Indonesia yang mendesak untuk segera dibenahi, tingginya angka putus sekolah yang disebabkan oleh aspek kualitas pengajar, fasilitas yang tidak memadai, dan mutu dari pendidikan itu sendiri.

Ada lagi soal pendidikan, Indonesia kalah dengan Malaysia, yang lagi-lagi membahas soal hasil survey UNESCO di tahun 2011 yang menunjukkan data "rank" pendidikan setiap negara.

Tidak sampai disitu, masih ada perbedaan sistem pendidikan Indonesia VS Amerika, yang membahas sistem pendidikan dari SD, SMP, SMA, hingga sarjana dan pascasarjana antara Indonesia dan Amerika. Begitu juga dengan adanya perbedaan di aspek kurikulum, dan sedikit cerita perjalanan kurikulum pendidikan Indonesia.

Juga fakta pendidikan yang bahasan-bahasannya diakhiri dengan 'sebaran indeks kualitas pengajar' dan adanya pasal undang-undang tentang peningkatan mutu pendidikan Indonesia.

Segitu dulu. Aslinya banyak banget. Berhubung sekarang gue anak gahol yang google banget, lo juga aktif lah cari data dengan googling.

Kata kunci dari setiap artikel yang disebutkan, adalah laporan UNESCO 2011, kualitas, fasilitas, kurikulum, citra, biaya.

* * * * *

Dari data-data tersebut, kita mendapat relevansi antar data. Gue sendiri, melihat perbandingan secara internal adalah tentang zaman. Adanya perbedaan metode. Jelas adanya perbedaan ini merupakan bukti adanya evolusi metode pendidikan. Kalau kita gabungkan variabel-variabelnya, ada kesimpulan bahwa hukuman semakin hilang, tugas-tugas lebih mudah dan ringan dengan tidak perlu lagi bawa puluhan buku berat karena ada tablet android atau iOS, dan jendela (media) yang semakin meluas. 

Karakter yang tercipta adalah, 'terbiasa dengan kemudahan', 'tidak ada pelajaran moral' dan masuk ke ranah 'merasa tahu segalanya'. Muncullah sifat-sifat yang tidak profesional yang benar-benar menganggap dirinya yang paling tau dan benar. Generasi baru yang menjadi korban karena otak mereka tersuntuk oleh hal-hal ini. Seharusnya, dengan segala kemajuan dunia, anak-anak zaman sekarang bukannya menjadi generasi platinum malah menjadi generasi anti-sosial. Masing-masing merasa benar dan mulai tidak ada yang bertolenransi terhadap pendapat orang lain karena pelajaran moral sudah tidak lagi optimal. Pelajaran PPKn atau PMP sudah tidak lagi memberi efek besar pada pelajar Indonesia. Itu adalah mata pelajaran yang membosankan.

Globalisasi merebak dan dibicarakan dimana-mana. Membanding-bandingkan (dalam hal ini : pendidikan) menjadi jalan pikir orang-orang sekarang. Gak tanggung-tanggung, pembandingnya adalah negara lain. Melihat kualitas pengajar dan fasilitas, poin-poin kurikulum, biaya yang kini menjadi mahal, dan akhirnya menjadi citra yang dilihat oleh negara-negara lain. Akhirnya muncul arahan pemikiran baru, semisal "bagaimana Indonesia maju kalau pendidikannya gini-gini aja?"

Gue gak menutup mata kalau memang hasil perbandingannya menjadi seperti itu. Tapi sangat disayangkan, hal yang disebutkan selalu bersifat substansi pendidikan. Coba baca-baca lagi, gak ada atau sedikit sekali yang membahas esensi pendidikan, terutama pendidikan Indonesia. Bagaimana kalau sejenak kita mulai menanggapi perbandingan tersebut dengan, "inilah Indonesia, itulah Korea, itulah Amerika dan seterusnya"? Nah, yang tadinya nyama-nyamain, sekarang jadi terasa kesan jati diri masing-masing negara. Bukan, gue arahin kayak gini biar kita bisa dapat pandangan baru. Dengan begitu, setidak-tidaknya, mungkin kita bisa mendapat poin baru untuk diskusi yang lebih cerdas.

Lanjut.....

Bagaimanapun juga, setiap negara punya kebijakan masing-masing dalam menentukan sistem pendidikan apa yang digunakan. Kita telusuri dulu, apakah benar yang salah itu sistem dan metode pendidikan Indonesia? Apa benar yang salah itu para pencetus kurikulum pendidikan Indonesia?

Dalam sebuah mata kuliah gue di S2, yaitu pada pembahasan perkembangan filsafat terdapat kalimat yang menancap kuat dalam benak gue, "Pada prinsipnya, teori itu bersifat dan berlaku lokal". Dari satu kalimat sederhana tersebut, gue mencoba mencari relevansinya dengan aspek-aspek pendidikan.

Teori. Disini gue menempatkan teori ini ada di posisi artikel-artikel yang membanding-bandingkan pendidikan Indonesia dengan luar negeri. Anggaplah, data UNESCO itu, opini sang author, dan lain-lain itu adalah teori.

Lokal. Gue menempatkan lokal ini di beberapa aspek. Lokal dalam aspek waktu (zaman), lokal dalam aspek tempat (lokasi, negara), lokal dalam aspek masyarakat (tipikal orang-orang Indonesia).

Di postingan sebelumnya, gue sempat menulis tentang pameo "tradisi sudah tidak relevan dengan jaman sekarang". Dan sekarang gue mau menanyakan hal yang sebaliknya. Seandainya kita mulai berpedoman pada sistem pendidikan terbaik menurut UNESCO, apakah akan relevan dengan kasus di Indonesia? Atau lebih sederhananya, apakah akan relevan dengan tipikal masyakarat Indonesia sendiri?

Ternyata, menurut Mochtar Lubis, seorang wartawan dan sastrawan otodidak, lulusan Hollandsch Inlandsche School (HIS), yang 'berhasil' menggeneralisasikan tipikal masyarakat Indonesia yang unik dengan 12 sifat negatifnya, dijabarkan dalam postingan facebook ini :
  1. Hipokrit (munafik)
  2. Segan atau enggan bertanggungjawab
  3. Berjiwa feodal
  4. Masih percaya takhyul
  5. Artistik
  6. Watak yang lemah
  7. Tidak hemat, bukan "Economical Animal"
  8. Lebih suka tidak bekerja keras, kecuali terpaksa
  9. Tukang Menggerutu
  10. Cepat cemburu atau dengki
  11. Sok atau Sombong
  12. Tukang tiru atau flagiat
Waw, ternyata eh ternyata. Hehehehe. Dari sini, gue coba cari relevansinya dengan gonjang-ganjing perbincangan tentang sistem pendidikan Indonesia dewasa ini. Gue jabarin secara singkat dalam satu paragraf. Soalnya, gilak ni tulisan udah panjang banget woiii..

(8) Lebih tidak suka bekerja keras, kecuali terpaksa. Karena sifat tersebut, banyak yang merasa keberatan dengan kondisi sejak SD sampai SMA dicekokin banyak mata pelajaran yang mampu 'me-rebonding' otak yang tadinya kriting meliuk-liuk jadi lurus. Ngeluh dengan bilang gak ada gunanya belajar kimia, antropologi, bahasa arab dll karena memang masyarakat Indonesia itu (9) Tukang menggerutu. Keluhan-keluhan terakumulasi dari tahun ke tahun. Dengan adanya Internet dan pergaulan global, ditambah lagi banyaknya artikel di google tentang perbandingan sistem pendidikan, masyarakat makin menjadi (10) Tukang cemburu. Merasa sistem pendidikan luar negeri tu lebih oke. Dan karena emang punya tingkah yang (11) Sok, alias merasa mampu menjalani sistem pendidikan luar negeri, mulailah muncul (12) Tukang tiru yang meniru sistem tersebut. Setelah dicoba, mungkin ada kesadaran bahwa sebenarnya gak relevan sistem tersebut diterapkan di Indonesia. Namun demi harga diri (entah pribadi atau kelompok), kumat deh penyakit (1) Hipokrit-nya. Semua hal yang sekiranya bisa mematahkan proses adaptasi sistem pendidikan luar negeri, mulai dikemas dengan kemampuan (5) Artistik-nya. 'Sistem adaptasi' dipandang dan dipercaya jauh lebih baik daripada sistem pendidikan Indonesia sendiri, sudah seperti (4) Percaya takhyul. Padahal pengemasan kemunafikan yang artistik tersebut sebenarnya salah satu bukti ada rasa (2) Segan atau enggan bertanggungjawab dengan hasil 'percobaan'nya. Jelas ini termasuk (6) Watak yang lemah yang tidak bisa dibanggakan samasekali. Urusan biaya, santai aja. Yang penting berbasis pendidikan internasional yang kece abis, urusan duit bisa diatur. Tanda atau bukti masyarakat Indonesia tuh (7) Tidak hemat. Ya jelas saja mau merogoh kocek lebih dalam, toh dengan 'berpendidikan internasional', mereka bisa mendapatkan kehormatan yang lebih, dan dianggap 'super', untuk memenuhi egonya yang (3) Berjiwa feodal. Fiuh.

* * * * *

Sebelum gue banyak membaca tentang pendidikan Indonesia, gue bertanya-tanya, kenapa Indonesia masih bertahan dengan sistem pendidikannya, padahal banyak referensi yang lebih baik diluar negeri? 

Tapi, ada pertanyaan lain, apakah kita semua lupa dengan "ing ngarsa sung tulada-ing madya mangun karsa-tut wuri handayani" (Di Depan, Seorang Pendidik harus memberi Teladan atau Contoh Tindakan Yang Baik - Di tengah atau di antara Murid, Guru harus menciptakan prakarsa dan ide - Dari belakang Seorang Guru harus Memberikan dorongan dan Arahan.)????

Baca lagi baik-baik omongan Pak Dhe Ki Hajar Dewantara, sebagai bapak pendidikan kita. Doi bapak pendidikannya Indonesia bro. Lo hina pendidikan Indonesia, berarti hina doi juga. Dari slogan yang diucapkan Pahlawan Nasional ini, jelas sistem pendidikan kita sudah bagus kok. Pelajar dapat 'ilmu' penuh dari depan, samping dan belakang dari pengajar. Namun bila sistem pendidikan kita benar-benar membusuk, pasti 'lakon-lakon'nya yang tidak menerapkannya secara optimal. Wajar sistem yang sudah baik menjadi ancur-ancuran.

* * * * *

NB:
Ini masih diskusi. Silakan, kasih komentar-komentar lo. Kita bisa diskusikan hal ini. Lagipula gue butuh masukan. Walaupun gue memang bukan siapa-siapa di pendidikan yang bisa menentukan atau mencetuskan sesuatu.

* * * * *

Dwindown, 2014

Image source:
http://www.nonstop-online.com/wp-content/uploads/2014/09/logo_tutwurihandayani.jpg

You Might Also Like

2 comments

  1. Wah ternyata ada lanjutannya... udah terlanjur komen disebelumnya. hahaha
    Ngak jadi gagal paham. ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Selagi masih ada bahan, bakalan berlanjut terus bro.. Hehehehe..

      Gpp dong..komennya dibutuhkan disetiap posting, utk sama2 memberi pandangan dan saling melengkapi dengan opini-opini baru.. Hehehhee

      Hapus