Tentang Sistem Pendidikan (?)
Kamis, September 18, 2014
Duh, sori banget nih, bahasannya rada-rada gimanaaaa gitu.. Tapi sebulan ini gue berkutat dengan topik satu ini..
Bismillahirrahmannirrahim...
Sejak sebulan lalu, gue berkutat dengan kenyataan bahwa Dikti memberikan surat resmi tentang aturan pengenalan kampus pada universitas-universitas baik negeri maupun swasta. Dan surat ini menjadi patokan metode yang digunakan ketika acara ospek dijalankan.
Di universitas sendiri, gue menghadapi dua pihak yang masih berprofesi sebagai mahasiswa teknik dan mereka berbeda pendapat soal 'pengenalan kampus' pada maba (mahasiswa baru). Yang satu, tetap pada 'tradisi teknik' yang mengenalkan kampus dengan menyediakan divisi penertib. Sedangkan yang satu lagi, tidak setuju terhadap hal tersebut karena sudah tidak relevan dengan zaman sekarang.
Uniknya, dalam forum diskusi antara kedua pihak ini, sang kontra memberikan artikel yang salah satunya tulisan dari Prof. Rhenald Kasali diambil dari Facebook Komunitas Ayah Eddy, bahwa pendidik di Indonesia menganut "Budaya Menghukum dan Menghakimi" dalam metode mengajarnya. Pendidik Indonesia tidak melakukan encouragement, melainkan discouragement. Dan ini menghancurkan potensi, kreatifitas, dan mungkin passion anak didik. Berarti berpotensi membuat anak didik menjadi generasi takut salah ya?
Pertama, kita tinjau dari metode pendidikannya dulu. Dari sejak SD sampai SMA, kita dipaksa untuk memahami banyak mata pelajaran yang selalu bertambah dan bertambah. Zaman gue sekolah sih, gue cuma belajar IPA dan IPS di SD. Terus waktu masuk SMP, mata pelajaran IPA pecah jadi Biologi dan Fisika, dan IPS menjadi Ekonomi dan Sosiologi. Begitu gue masuk ke SMA, gue dapat tambahan Kimia di IPA. Ini belum termasuk pelajaran bahasa daerah dan asing, kebudayaan, teknologi informatika, mmmmm Matematika, penjaskes dll deh. Disini gue simpulkan, bahwa pelajaran itu semakin bercabang dan setiap mata pelajaran itu ada fokusnya masing-masing. Bisa dibuktikan dengan guru yang berbeda setiap cabang mata pelajaran. Guru Biologi gak ngajar Fisika kan? Walaupun semuanya gak begitu penting buat hidup gue sekarang, setidaknya itu semua ada gunanya buat mengasah cara berfikir dan ada perbedaan antara orang yang bersekolah dan tidak.
Hubungan dengan hukuman, kita dimarahi oleh guru bila tidak mengerjakan tugas tiap mata pelajaran, disetrap setiap gak bawa buku pelajaran, di suruh berdiri di pojokan kelas kalau salah mengerjakan soal di papan tulis, dll. Kita juga mendapat sanksi skors (misalnya gak boleh masuk sekolah selama satu minggu) kalau melakukan kesalahan fatal apapun. Ditambah lagi, kita bisa tidak naik kelas kalau ada satu mata pelajaran yang nilainya ditulis dengan pulpen berwarna merah.
Dari foto instagram (sori gue gak nemu lagi fotonya) gue nemu 'quote' yang berbunyi, "guru yang mengajar saja tidak menguasai semua mata pelajaran, kenapa kami harus menguasai semuanya???" kira-kira gitu deh. Gue cuma manggut-manggut karena baru sadar sesadar-sadarnya, dan bergumam "iya jugak ya" hehehe.
Kedua, memasuki masa kuliah. Tahun 2007 dulu, gue masuk fakultas teknik dengan segala kegarangannya. Gue sih ikut aja kegiatan ospek yang notabene gue abis dimaki-maki, dan terutama saat gue gak sengaja ketinggalan satu atribut. Abis bro~. Gue sih gak masalah dengan ospek yang seperti itu. Cuma diteriakin doang. Masalahnya dimana? Nyentuh aja nggak, dan gue gak takut dengan 'senior-senior' yang menertibkan para mahasiswa baru. Disini banyak hukumannya, dan gak perlu gue jabarin apa aja. Banyak men, sama-sama ngerti aja lah. Hehehe.
Dan selama dua tahun pertama, fakultas teknik gue itu ngasih didikan keras juga di perkuliahan dengan deadline tugas yang yoi banget. Ditambah lagi gue mahasiswa yang aktif dikegiatan, yang dibimbing dengan keras pula oleh para 'senior'. Gue juga gak nemu masalahnya dimana. Enjoy aja. Itu justru 'refreshing' yang asyik buat gue istirahat sejenak dari tugas kuliah. Anggaplah kepelikan yang gue terima itu adalah 'hukuman', tapi hukuman-hukuman itu buat gue cukup memotivasi dan membangun karakter gue jadi kayak sekarang. Setidaknya rada mikir dan menganalisa, dan open mind kalau ada suatu kasus.
Oke, ini diluar konteks ospek-ospek yang ada peloncoan, pengeroyokan dan pelecehan seksual di beberapa universitas di Indonesia karena tidak ada kontrol diri atau instansi terkait. Bahasan ini juga diluar kenyataan adanya guru memukul siswa dengan penggaris kayu, guru memarahi siswa bandel sampai meninju muka, bahkan ada juga guru yang mencabuli siswi. (?)
Kembali pada pendidikan. Yang terjadi bisa seperti dosen/ asdos yang 'membantai' karya mahasiswa secara tidak manusiawi. Ini masalah bukan? Gue pikir malah bukan masalah. Bukan karena gue pernah jadi asdos 'galak', tapi karena gue gak lihat bagian mana permasalahannya. Selama 'galak' itu untuk tujuan yang lebih baik. Gue pernah bahas ini 3 tahun lalu kayaknya >>> ASDOS
Akhirnya, mindset gue yang bukan siapa-siapa ini berlawanan dengan mindset Prof. Rhenald Kasali yang sudah punya perbandingan dengan Amerika. Memang beda, gue nikmatin apa yang gue terima, tapi Prof. Rhenald Kasali tidak lagi berfikir hal yang sama. Walau begitu, gue setuju dengan tulisannya pada bagian akhir, yaitu:
MELAHIRKAN KEHEBATAN
Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya.
Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas…; Kalau,…; Nanti,…; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.
Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh.
Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.
Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.
Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.
Naaah. Kembali ke surat resmi Dikti yang ditujukan pada instansi perguruan tinggi tahun ini tentang pengenalan kampus atau ospek. Saat membaca surat itu, gue langsung berasumsi bahwa surat itu muncul karena banyak kejadian tidak senonoh atau tidak manusiawi yang terjadi di bumi pertiwi ini. Gue setuju aja. Tapi ternyata, efeknya gak sebaik yang gue bayangin. Gue ambil dua sample fakultas yang berlebihan banget menanggapi surat resmi itu. Dan kelebayan ini, ada hubungannya dengan pendapat Prof. Rhenald tersebut. Prinsip yang dianut malah bertolak belakang ama tagline Pegadaian yang berbunyi 'Menyelesaikan Masalah Tanpa Masalah'. Yap, bener banget, yang dilakukan justru 'Menyelesaikan Masalah Dengan Masalah'.
Sample Pertama
Disini ceritanya ada acara ospek yang salah satu divisinya bertugas menyambut dan menertibkan mahasiswa baru demi kelancaran acara. Tidak hanya bersuara tegas, tapi juga berhak menghukum dengan hukuman ringan yang nasionalis (menyanyikan lagu nasional, membaca pancasila dll) dan juga wajib memberi materi berupa pengenalan & penjelasan tentang peran dan fungsi mahasiswa, cinta tanah air, dan juga tentang kelembagaan kampus.
Divisi ini nyaris punah. Karena dari tahun ke tahun memang semakin banyak haters-nya karena diindikasikan telah melakukan kekerasan verbal karena ketegasan suara beda-beda tipis ama teriakan. Okelah, mari kita sebut segelintir orang ini berteriak, bukan bersuara tegas. Sekarang coba kita pahami betul apa sih 'kekerasan verbal' itu sendiri. Gue ambil postingan dari Facebooknya "Stop Verbal Violence":
Bentuk-bentuk lain kekerasan verbal antara lain:
* Membuat segala sesuatu seolah menjadi tidak berharga / tidak penting. Terkadang ini akan membingungkan pasangannya, apakah pasangannya sudah menyampaikan dengan jelas mengenai beberapa hal yang penting bagi dia.
* Meremehkan. Menjatuhkan mental dengan komentar-komentar yang meremehkan.
* Mengancam. Ini adalah bentuk klasik kekerasan verbal yang dilakukan dengan memanipulasi pasangannya dengan membawa ketakutan terbesarnya. Ini termasuk mengancam untuk meninggalkan (pergi, bunuh diri, putus, dsb.) atau akan meningkatkan perilaku kekerasannya.
* Memanggil dengan nama-panggilan yang diskriminatif (warna kulit, ras, kecerdasan, bentuk badan, kebiasaan, kelemahan, jenis hewan, dll) yang berdampak pada kepercayaan diri pasangannya.
* Melupakan. Orang sewajarnya sesekali lupa, tapi pelaku kekerasan secara konsisten selalu lupa. Ia seringkali lupa akan insiden kekerasan yang telah dilakukannya dan juga sering melupakan janji-janji yang telah dibuat yang mempunyai arti besar bagi pasangannya.
* Memerintah / menyuruh-nyuruh adalah satu lagi tipe klasik kekerasan verbal. Hal ini adalah bentuk ketidaksetaraan atau dominasi yang berlebihan.
* Penyangkalan. Meskipun tiap bentuk kekerasan verbal memiliki dampak yang berbahaya, penyangkalan adalah yang paling berbahaya karena dampaknya dapat bertahap dan menyangkal realita pasangannya. Bahkan, pelaku kekerasan verbal bisa menyebutkan banyak alasan dan tetap bersikeras bahwa ia tidak melakukan
kekerasan verbal.
Dari semua poin ini, yang paling mendekati adalah poin "memerintah/ menyuruh-nyuruh". Menyuruh untuk baris, menyuruh untuk ini itu blablabla. Pertanyaannya, apakah bisa menertibkan mahasiswa baru tersebut tanpa bersuara keras? Ada yang jawab : "Bebek saja bisa rapi tanpa diteriaki". Oke deh, itu bebek mas bro. Sedangkan mereka para mahasiswa bukanlah bebek, tapi mereka dibesarkan dengan teriakan pemimpin upacara dan pemimpin barisan setiap upacara bendera hari senin (diteriaki saja masih banyak yang kabur upacara).
Gue gak akan bela para penertib untuk bagian ini. Tapi ini hanya satu poin diantara semua poin. Anggaplah mereka salah karena mendominasi para mahasiswa baru dengan kekerasan verbal, dan kalau tidak ada toleransi samasekali, berarti kaum ini wajib musnah.
Namun, kenyataan lainnya adalah para haters (entah jajaran dosen, tata usaha, atau mahasiswa dan alumni) justru juga melakukan hal yang sama demi hilangnya para 'senior penertib' ini. Malah lebih parah. Apa saja yang mereka lakukan pada para 'senior penertib'? Kita buat daftar dulu ya. Mereka memberi ancaman dengan sanksi akademis, meremehkan keberadaan divisi penertib, merendahkan, diskriminasi dengan menyamakannya dengan 'anjing yang menggonggong', dan penyangkalan terhadap poin-poin yang barusan gue sebut dengan berbagai alasan. Kalau dihitung, ada lima poin kekerasan verbal yang telah dilakukan demi menghilangkan satu poin tadi. Gue simpulkan kaum yang melakukan ini lebih wajib musnah.
Dampaknya, mahasiswa baru diospek dengan didampingi para dosen dan perwakilan orang tua, area kampus dipenuhi oleh kameramen baik profesional maupun amatiran, walaupun ada divisi Dekdok (Dekorasi & Dokumentasi) untuk mengabadikan kegiatan ospek tersebut, siapa tahu ada 'kekerasan verbal' yang terjadi dan fotonya bisa menjadi barang bukti untuk mengusut dan mem-bully pelaku (senior penertib) di media sosial dan memberikan hukuman berupa sanksi akademik dan sanksi sosial.
Sample kedua
Jurusan yang satu ini baru saja membuat mahasiswa didalamnya menghilangkan satu kegiatan acara yang bernama 'pengukuhan' bagi anggota baru dalam UKM jurusannya guna adanya regenerasi dalam UKM tersebut. Ada apa gerangan? Oh, ternyata, ada ancaman sanksi akademik juga bagi para pejabat mahasiswa, seperti ketua acara, dan para pejabat lembaga mahasiswa yang bertanggungjawab. Gak tanggung-tanggung, ancamannya adalah Drop Out !!!
Ancaman lagi kan. Ckckckck.
See? Jadi, kembali pada pertanyaan terakhir, apa memang gak bisa menertibkan situasi tanpa 'kekerasan verbal'?
Baiklah. Sambil merenungi kenyataan tahun ajaran baru di perkuliahan sekarang, kita bandingkan cara didik gaya barat dan salah satu sudut bagian barat di Indonesia. Berdasarkan tulisan Prof. Rhenald Kasali tersebut, pujian menjadi encouragement bagi para siswa untuk mengalami kemajuan. Disisi lain, gue punya cerita dimana hal sebaliknya juga memiliki efek encouragement yang spektakuler. Kita abaikan dulu soal "apa semua bidang keilmuan harus dikuasai?".
Adek gue sendiri, pernah hampir tidak naik kelas karena selalu ikut pindah dinasnya bokap. Akhirnya disuatu kota yang baru, pendidikannya lebih ketat dibanding kota sebelumnya. Adek gue ketinggalan materi pelajaran sejauh 5 bab setiap mata pelajaran dan terancam tidak naik kelas. Guru-guru di SD yang baru itu, sudah melapor ke Nyokap gue bahwa mereka menyerah untuk membimbing adek gue biar bisa mengejar materi yang tertinggal. Lalu, Nyokap daftarin adek gue ke suatu tempat les yang sistemnya uwaw banget. Dan adek gue mampu mengejar ketinggalannya di semester itu dan bisa naik kelas dengan nilai yang lebih dari harapan Nyokap. Apa yang terjadi di tempat les itu?
Di tempat les itu, adek gue bisa dihukum push-up karena tidak bisa mengerjakan soal, bisa berdiri selama dua jam karena tidak hapal materi pelajaran, dan lain-lain. Wait, setelah 'kelembutan' para guru gak mampu fight lagi, kenapa metode 'menghukum' seperti itu malah jadi sangat efektif?
* * * * *
NB:
Yap, tulisan ini masih berupa studi kasus. Bukan untuk memprovokasi pihak manapun atau memojokkan pihak manapun. Gue mencoba membaca situasi sekitar gue sebagai pihak yang netral. Jelas untuk dapat menemukan solusi dari permasalahan ini dibutuhkan para pakar dan orang yang berwenang dalam menentukan sistem pendidikan, karena sekalipun gue nemuin sendiri solusinya, gak akan ada efeknya karena gue yang bukan siapa-siapa di bumi pertiwi yang memiliki kewenangan dalam topik pendidikan yang lingkupnya sangat luas.
Gue minta komentar pembaca berupa pendapat yang bisa jadi masukan soal topik ini, siapa tau ada yang punya pengalaman atau pemikiran lain untuk menambahkan studi kasus (atau bahkan solusi). Mari berdiskusi demi generasi yang lebih baik. :)
* * * * *
Dwindown, 2014
image source:
http://files.wacana.siap.web.id/content/uploads/2014/03/education.jpg
10 comments
Berhubung dirimu minta dikomentarin dan berhubung juga diriku lagi senggang nunggu server kantor hidup lagi. Nih, aku kasih komentar. Mungkin agak panjang jadi dibagi jadi beberapa komentar.
BalasHapusPertama, soal metode pendidikan yang dirimu bilang kalau guru Fisika nggak ngerti pelajaran Biologi dsb dan juga quote "guru yang mengajar saja tidak menguasai semua mata pelajaran, kenapa kami harus menguasai semuanya?"
Menurutku, itu terjadi sebagai efek "jaga-jaga". Kenapa "jaga-jaga"? Karena baik guru, orangtua, maupun murid sendiri nggak tahu bakal menggunakan ilmu yang apa untuk berkarya di masa depannya kelak. Seandainya dari kecil si anak sudah minat banget buat jadi juru masak, tentu dia konsentrasi saja belajar ilmu masak dari kecil hingga dewasa. Nggak perlu pusing2 belajar Fisika dsb. Tapi toh nggak bakal sesederhana itu kan?
Dirimu mesti tahu kalau bidang yang akan kita tekuni berkaitan dengan lebih dari satu bidang ilmu. Misal untuk ilmu masak, tentu harus dipelajari ilmu Biologi karena bahan makanan kan organik. Ilmu kimia juga penting karena pasti bahan-bahan makanan semisal penyedap, garam, gula, dsb itu berkaitan dengan ilmu kimia. Alhasil, nggak bisa kita menggantungkan pada satu bidang ilmu aja. Justru karya yang bermanfaat adalah perpaduan dari berbagai bidang ilmu.
Lagipula, saat kuliah juga kita ditawari banyak konsentrasi mata kuliah semisal Teknik Konstruksi, Transportasi, Air, dsb. Itu kan hanya satu konsentrasi yang nantinya bakal kita tekuni? Nggak mungkin bisa semuanya kan? Kalau pun bisa pasti juga tidak maksimal dalam memanfaatkan konsentrasi tersebut.
Karena itu lumrah bila untuk "jaga-jaga" semua diajarkan. Menurutku, kita menolak untuk belajar hal-hal rumit karena kita belum tahu gunanya untuk apa.
Iya sih, sistem 'jaga-jaga' mungkin jadi based awal ngebentuk sistem disini kali ya. kalau di amati, sepertinya begini :
HapusIndonesia:
Mempelajari semua, lalu diseleksi mana yang gak begitu urgent. Tapi mata pelajaran kayak bahasa inggris dan penjaskes, kalau nilainya dibawah rata-rata, siswa akan mengulang seluruh pelajaran (tidak hanya dua matpel itu) ditahun berikutnya, dengan kata lain, tidak naik kelas. anggaplah obsesinya ada di ipa dengan percobaan-percobaan fisika (magnet, uap, sifat benda dll). Gue simpulkan negera ini menggunakan metode deduktif (pelajari teori, lalu kenyataan)
"mempelajari semua untuk mendapatkan satu garis pilihan ilmu pengetahuan yang akan di-ahli-kan"
Di luar negeri :
anak-anak mendapat materi kelas secara singkat, lalu dibiarkan 'bermain'..lalu diperhatikan, kalau mainnya ke perpus, buku apa yang paling sering dibaca, itu yang diasah terus. Kalau ke taman, apa yang dilakukan, dimasukkan dalam kategori apa, lalu diasah terus. Jadi siswa diasah terus apa yang menjadi passionnya, sedangkan materi-materi diluar passionnya, akan diberikan guna melengkapi pengetahuannya di ilmu yang telah dipilih/ diminat sejak kecil tersebut. Gue simpulkan metode yang dipake adalah induktif.
"Memilih satu kesenangan, lalu mempelajari banyak hal untuk memperkuat ilmu yang diminati"
Akhirnya, terbukti bahwa Indonesia hanya meraih juara olimpiade fisika, matematika dll, sedangkan luar negeri meraih award sebagai penemu. (ini termasuk yang dituliskan oleh Prof. Rhenald Kasali)
Indonesia : Serba bisa namun tidak ahli
Luar negeri : Ahli pada satu bidang tertentu
Jelas masing-masing ada plus-minusnya. Jadi pertanyaannya, mana yang lebih baik?
Kedua, aku sendiri nggak setuju kalau ada kekerasan verbal maupun non-verbal dalam orientasi mahasiswa baru. Tapi ini yang dilematis karena sebagian besar orang Indonesia itu kesadaran dirinya kurang dan karenanya sering tidak tertib. Alhasil, supaya jadi tertib harus diberi penekanan. Lucunya, orang Indonesia itu lebih efektif melakukan sesuatu ketika ditekan atau dalam kondisi terpaksa. Karena itu solusi yang dipilih biasanya ada unsur kekerasannya. Seperti adikmu yang ikut les itu dia sukses karena kondisinya tertekan kan?
BalasHapusSbenernya nggak perlu banyak kekerasan kalau kita semua bisa taat pada peraturan yang berlaku. Hanya saja memang mayoritas orang Indonesia ini kurang mau berusaha, hahaha. Jadi ya menurut saya kekerasan bakal hilang dengan sendirinya kalau kita sendiri taat dan patuh pada peraturan yang berlaku.
"kekerasan bakal hilang dengan sendirinya kalau kita sendiri taat dan patuh pada peraturan yang berlaku."
HapusYap, setuju mas bro. Tapi pameo yang muncul di Indonesia malah "Peraturan diciptakan untuk dilanggar." Hahahahaha.
ada yang dikasih kekerasan, dia takut. ada yang dikasih kekerasan, dia terpacu. ada yang dikasih kelembutan, dia seneng. ada yang dikasih kelembutan, dia melunjak. terus, gimana?
BalasHapusKalau diurutkan berdasarkan personal, tinggal diklasifikasikan tiap-tiap anak dan diperlakukan sebagaimana mereka bisa diperlakukan. Berarti bahasan ini gak perlu didiskusikan.
HapusNamun masalah selanjutnya adalah, apakah pendidik bisa menjalankan metode ini, sedangkan pengajar jauh lebih sedikit daripada pelajar? Melihat data statistik, rasio guru dan siswa di Indonesia adalah 1:18 (tingkat pendidikan berbeda-beda, 54.8% belum S1 atau D4) , sedangkan di Finlandia 1:12 dengan minimal tingkat pendidikannya S2. Berarti secara jumlah Indonesia hanya beda 6 orang siswa setiap 1 gurunya. Seharusnya tidak mustahil untuk melaksanakan metode pengajaran yang 'tergantung tiap personal' di Indonesia. Tapi ternyata ini hanya data statistik, yang kenyataannya, ada sekolah yang kelebihan guru, dan ada yang kekurangan guru (diluat masalah tingkat pendidikan).
Kenyataannya lagi, di Indonesia, dengan kondisi statistik seperti itu, masih ada ketidakefisienan waktu dalam mengajar (terlambat atau kelas kosong) atau hanya memfasilitasi saja (langsung meminta siswa membuat presentasi dan hanya menambahkan materi yang kurang setelah presentasi kelar) seperti diperkuliahan yang mungkin siswa SMA sudah mampu menghadapinya, namun SD dan SMP belum (belum ada data akurat, masih asumsi). Juga mindset berupa INPUT dan OUTPUT, misalnya setiap bab di tiap mata pelajaran diujiankan, yang kita kenal sebagai ulangan harian. Dan ujian nasional di setiap akhir periode tingkat pendidikan (SD, SMP, SMA). Seluruh sekolah di Indonesia mengikuti kurikulum nasional.
Sedangkan di Finlandia, rasio 1:12 itu, 1 dari 3 siswa akan mendapat 'pengayaan' bagi yang dinilai tertinggal dibanding yang lain, dan tes wajib hanya sekali pada usia 16 tahun. Kurikulum nasional hanya menjadi patokan, dan setiap sekolah punya kewenangan dalam merancang kurikulumnya sendiri berdasarkan kurikulum nasional.
Keduanya pasti ada plus-minusnya. Pertanyaannya lagi, mana yang lebih baik dari kedua kondisi tersebut? dan dimanakah kendala-kendalanya?
Sumber:
1. http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/02/berapa-sih-kebutuhan-guru-di-indonesia-344587.html
2. http://muhammadilham56.blogspot.com/2013_06_05_archive.html
Udah lama ngak baca2 blog abang, eh ternyata nemuin tulisan ini.
BalasHapusikut komentar bang (bukan ngajak ribut atau bikin masalah) hanya ingin berdiskusi secara sehat. ya mohon maaf kalau ada kata2 yang salah atau ngak tepat.
Sebagai Mahasiswa saya jujur ngak setuju dengan adanya kekerasan verbal maupun non verbal. Alasannya sih simple "udah ngak relevan dengan jaman sekarang"... karna memang dunia ini begitu cepat berubahnya, teori2 yang ditemukan oleh ahli/penumu pun sudah banyak dipatahkan. Contoh dibidang arsitektur tropis deh, kalau dulu bangunan itu jangan diarahkan ke timur dan barat dengan alasan panas yang masuk kedalam ruang akan berlebihan. Lah sekarang sudah ditemukan teknologi zero karbon, banguanan justru harus diarahkan ke matahari agar mendapatkan banyak panas yg mampu dikonversi menjadi energy. atau bidang matematika, kalau dulu kita belajar menghitung dengan sempoa (bahkan ada lesnya), lalu jaman sekarang sudah susah untuk menemukan orang yang masih menghitung sempoa, setelah kalkulator ditemukan. Masih banyak lagi sih...
Tapi menurutku sih respon kita dengan jaman harus disesuaikan dengan jamannya, respon orangpun harus disesuaikan dengan orangnya. Jamannya ini harusnya ini, jamannya itu harusnya itu. Orang ini memang harus dikerasin, ya kerasin, kalau harus dilembutin ya dilembutin.
Karna saya msh menganut prinsip yang dikatakan rosul kita "Tempatkanlah sesuatu hal pada tempatnya"
salah satu contoh kejadian (ketika beliau Harus Keras):
حَدَّثَنَا أَبو نعْيم : حَدَّثَنَا عَبْد الرَّحْمَن بْن الغَسِيلِ، عَنْ حمْزَةَ بْنِ أَبِي أسَيْدٍ ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ : « قَالَ النَّبِيّ صلى الله عليه وسلم يَوْمَ بَدْرٍ حِينَ صَفَفْنَا لقرَيْشٍ وَصَفّوا لَنَا : ” إِذا أَكْثَبوكم فَعَلَيْكمْ بِالنَّبْلِ »
Telah bercerita kepada kami Abu Nu’aim telah bercerita kepada kami ‘Abdur Rahman bin Al-Ghasil dari Hamzah bin Abi Usaid dari bapaknya berkata; Nabi saw bersabda pada saat perang Badar ketika Beliau membariskan kami menghadapi Quraisy: “Jika mereka mendekati kalian maka seranglah dengan anak panah”.[1]
Ada lagi kisah lain (ketika beliau harus lembut), sikap toleransi Rosulullah terhadap kaum Kafir. mereka tidak semena2 di bunuh atau dihukum (diperlakukan kasar) malahan mereka di beri perlakuan baik oleh Rosul.
Lalu bagaimana dengan sistem edukasi di Indonesia? Ya sudah seharusnya sistem sekarang tidak adanya kekerasan verbal, karna sudah tidak sesuai. (ini menurutku loh bang ^_^ )
Sekolah yang dulu SD, SMP, SMA sistemnya memang dirancang untuk jaman dulu, lalu sekolah yang sekarang kyak apa? Tentu pasti sistemnyapun harus dibenahi, disesuaikan dengan jaman sekarang. alhamdulillah Indonesia sistem pendidikan sudah banyak menganut teorinya "Montessori" (Baca link : http://en.wikipedia.org/wiki/Montessori_education) Bukan anak yang menyesuaikan pelajarannya, tetapi pelajarannya menyesuaikan pada anaknya. misal sekarang banyak sekolah juga yang menganut sistem alam (sekolah alam).
lalu kenapa kekerasan verbal itu ngak relevan jaman sekarang:
1. Membuat psikologi/mental anak akan menjadi takut salah. (padahal kata rinso berani salah itu baik) eh... salah... sorry lg ngak fokus. hehehe
2. terus kenapa saya ngak suka, sistem kekrasan verbal/non itu dilakukan untuk perekrutan sebuah komunitas2 yang buruk/jahat. Semisal geng motor, bahkan Iluminati, mereka melakukan perekrutan dengan cara seperti itu.
3. Ini kan cara2 untuk menertibkan/membuat tunduk orang lain (Baca mental penjajah) sehingga orang yang dikerasin akan menjadi penurut.
Kalau ingin dihormati, mulailah menghormati orang lain. Kalau ingin membuat orang lain membuang sampah pada tempatnya jangan mengancam, berikanlah contoh, kalau ingin membuat orang menjadi pintar, makan belajarlah yang pintar, kalau mau dicintai seseorang, cintailah dia dengan sepenuh hati...
Bapakku pernah bilang "Kalau ingin menaklukan Macan jangan pake senjata, tapi dengan kasih sayang!" lucu memang, tapi itu berhasil...
kalau yang lo bahas cuma soal ospek, kayaknya itu cuma sebagian kecil dari yang gue bahas. tapi okelah. Gue ambil beberapa poin dari kata2mu..
Hapus- "Tempatkanlah sesuatu hal pada tempatnya"
- "Ya sudah seharusnya sistem sekarang tidak adanya kekerasan verbal, karna sudah tidak sesuai."
- Bukan anak yang menyesuaikan pelajarannya, tetapi pelajarannya menyesuaikan pada anaknya. misal sekarang banyak sekolah juga yang menganut sistem alam (sekolah alam).
- "Kalau ingin dihormati, mulailah menghormati orang lain. Kalau ingin membuat orang lain membuang sampah pada tempatnya jangan mengancam, berikanlah contoh,"
coba lo perhatiin sendiri kalimat lo, dan lihat "lingkungan sekitar lo", apakah hal ini sudah diterapkan? sebagian dari 4 poin itu justru tidak diterapkan oleh beberapa pengajar kita.
komentar gue, gue jelas setuju Fad dengan opini lo, sangat setuju. thx, hadist itu nambahin data soal "pondasi" edukasi yang seharusnya.
soal "kekerasan verbal sudah tidak relevan", gue kaitkan dengan "Jamannya ini harusnya ini, jamannya itu harusnya itu." apakah sudah ada relevansi antara keduanya?
gue setuju itu cara penjajah, tapi apakah mental kita masih mental terjajah atau tidak. Kita harus menempatkan sesuatu dengan sesuai kan? kalo mental kita masih mental terjajah, dari tulisan lo ini gue simpulkan bahwa verbal violence masih dibutuhkan.
coba tela'ah lagi :) biar kita sama-sama melatih kepekaan, dan open mind..
thx komentarnya Fad, sukses!
Oh ya bang, kalau mau ngomongin sistem pendidikan yang lebih luas lagi saya ikut forum deh. Karna penelitian yang saya dalami (Karya Tulis Ilmiah) tentang Sistem Edukasi. Judulnya Next Shool?... dan itu juga berhubungan untuk Proyek Akhir Sarjanaku (PAS). kalau mau baca2 nanti tak kirim deh linknya. Sekalian Masukannya. hehehehe
BalasHapuswah boleh tuh, kalo gak repot, coba kirim ke me@dwindown.com bro :D
Hapus