Kemana Para Cendekiawan?

Sabtu, November 08, 2014



"Semakin kita tahu, kita akan tahu bahwa banyak yang belum kita tahu."

Iya pak dosen. Gue setuju. Beberapa matakuliah yang bertujuan untuk mengubah gaya berfikir -dari pratisi, menjadi akademisi peneliti-, memang cukup membuat gue sakit kepala.

Merenungi apa yang sedang gue usahakan untuk memahami semua yang disampaikan, mulai dari materi, filosofi, analogi dan lain-lain yang bertujuan untuk 'mencuci otak', gue jadi berfikir, mengapa ribuan kelulusan S1, S2 dan S3 setiap tahunnya dengan masing-masing 'pemecahan masalah' di Skripsi, Tesis dan Disertasi ternyata tidak begitu banyak mengubah nasib bangsa. Pada kemana nih cendekiawan kita? Apakah semua hasil penelusuran, penelitian, pemecahan masalah yang berhasil meluluskan mereka sehingga bertambah suatu gelar yang menyanding nama lengkapnya, hanya sekedar ilmu pengetahuan? Bukankah ilmu pengetahuan itu untuk kemajuan berfikir umat bumi dan membuat kehidupan kita lebih layak? Tapi mengapa Indonesia masih seperti ini? Apa yang salah? Sia-siakah tesis-tesis yang masuk list buku perpustakaan kampus itu di dunia nyata?


Atau mungkin, ternyata semua penelitian itu tidak sia-sia, gak terdengar di uji di Indonesia, malah dibiayai luar negeri yang lebih melihat sisi manfaat daripada untung-rugi. Mungkin (?). Lho, kalau gitu, mustahil kah adanya perubahan yang signifikan di Indonesia, karena cendekiawannya justru mengaplikasikan pikiran mereka di luar negeri?

Selanjutnya gue mungkin akan bicara di bidang arsitektural :

Budaya dalam Arsitektur

Jurnal tentang arsitektur tradisional dan vernakular gak tanggung-tanggung banyaknya, tapi budaya hanya menarik perhatian para peneliti, bukan praktisi yang bekerja dilapangan membangun bangunan-bangunan dari tempat tinggal, perbelanjaan, perkantoran (swasta maupun pemerintah). Identitas setiap nation ada pada culture-nya, arsitektur (building form) termasuk didalamnya. Lalu, bila culture semakin diabaikan, bukankah bangsa ini akan krisis identitas? Desain internasional, dengan 'tren', kemutakhiran teknologi, efektifitas lahan dan lainnya, membentuk dunia ini menjadi homogen. Semuanya general. Kok jurnal-jurnal yang ada tidak mengubah kenyataan ya? Apakah peneliti hanya bisa 'berkomunikasi' dengan akademisi? Benarkah dunia praktisi itu berbeda dengan akademisi? Lalu penelitian ini hanya untuk ranah ilmu pengetahuan? Sekedar tahu, lalu, yasudah. (Oke gue picik banget mikir kayak gini, tapi ini kegalauan gue...)

Desain arsitektur, memang seharusnya menjadi 'solusi' dari suatu masalah, baik lingkupnya makro, messo, mikro maupun nano, dengan gaya transformasi yang subjektif, sesuai gaya arsiteknya. Arsitek berkarya dengan norma-norma yang berlaku (atau tidak). Banyak yang sebut-sebut kata budaya, tapi ternyata bangunan kotak sabun yang terbangun.

Budaya bukan berarti harus menempelkan atap atau ornamen. Tidak harus menempel atap gonjong minang untuk bilang konsep yang digunakan adalah khas minang. Tidak harus menggunakan atap joglo untuk menampilkan khas jawa. Banyak transformasi yang bisa dilakukan dari mengambil nilai-nilai filosofisnya, historisnya, atau bahkan habit sekalipun dapat dibahasakan dalam bentuk arsitektur. Lalu kenapa yang muncul rumah tinggal minimalis yang bahkan (kalau gue bilang sih) tidak ada nilai budayanya sama sekali. Rumah-rumah kodian beserta ruko-ruko lusinan meaningless yang dibangun.

Gated Community

Sekian banyak jurnal yang membahas dampak-dampak negatif tentang gated community, ternyata tidak mampu menahan pertumbuhannya. Pembersihan lahan dengan menggusur warga setempat, pembangunan tanpa melibatkan warga setempat, dan akhirnya selesai dibangun, memang sama sekali tidak ada komunikasi baik dari pengembang maupun pengguna ke masyarakat. Semacam 'forum didalam forum', semacam 'negara didalam republik'. 

Pembangunan on demand, memang sangat menggiurkan dalam dunia properti. Ada keinginan masyarakat yang finansialnya diatas rata-rata untuk membuat sarana fasilitas publik secara privat, atau bahkan fasilitas publik yang diprivatisasi. Kenyamanan dimiliki secara pribadi, memiliki segala fasilitas. Dengan keinginan ini, para pengembang menyediakan jasanya untuk menciptakan keinginan itu menjadi kenyataan.

Namun sayangnya, kenyataan ini melupakan masyarakat setempat, bahkan sekedar 'permisi' pun tidak ada. Kesenjangan sosial semakin tinggi, karena tembok yang mengelilingi site menjadi batas keras antara pendatang dan warga setempat. Tak heran ke-iri-an semakin memuncak dan melampaui batas. Tingkat kriminal melonjak juga menjadi salah satu akibatnya. 

Dengan kenyataan seperti ini, bagaimana bisa pembangunan yang berpotensi menjadi 'gated community' tetap mendapat izin dari pemerintah? Apakah jurnal-jurnal itu tidak cukup untuk mengkritik dan menyadarkan mereka-mereka yang 'bermain' didalamnya?

Miris, ketika mengetahui bukan hanya owner yang menjadi pihak awam, tapi juga pemilik PT atau CV yang bergerak dibidang konsultan perencana atau kontraktor, bukan orang-orang jebolan teknik, perencana, perancang atau sejenisnya. Bukan hanya owner yang hanya peduli gambar 2D, 3D dan animasinya serta RAB. Tapi perusahaan konsultan dan kontraktor juga begitu. Apakah dunia arsitektur ini memang hanya sekedar tentang gambar-gambar dan tabel-tabel itu saja? Gue pikir, nggak sama sekali.

Arsitek dan Harganya

Rasa-rasanya gue pernah baca jurnal tentang dunia kerja arsitek gitu deh, insyaAllah nanti gue share deh kalau nemu lagi jurnalnya. Disana mengungkap lika liku dunia kerja dibidang arsitektur gitu.

Ya contoh kasusnya mungkin kayak gini :

"Mas, saya mau desain rumah. Berapa harga jasanya permeter persegi?"
"Saya ambil komisi dengan persentase aja Bu. 3-5% dari total RAB."
"Ah mahal sekali, saya ada kenalan arsitek lain juga,. Hanya Rp 7.500,00/m2. Harga segitu saya sudah dapat gambar kerja 2D, 3Dnya dan RABnya mas. Itu IMBnya juga sekalian diurus."
"..." (dalam hati : 'mending gue tidur siang buk!')

Mindset arsitek adalah mahal, memang semakin terkikis. Arsitek seakan merakyat. Tapi rakyat malah semakin melumat. Arsitek juga yang melarat. Profesi arsitek seakan sudah tidak memiliki harga yang sesuai.

Sebentar.... Benarkah itu arsitek?

Oh! Maaf saudara-saudara. Yang disebut sebagai 'arsitek' disitu bukanlah arsitek yang sebenarnya. Mereka adalah orang-orang yang bersikap layaknya sebagai arsitek sungguhan. Padahal mereka masih gadungan. Orang-orang itu adalah anak-anak lulusan SMK, mahasiswa arsitektur, lulusan arsitektur, dan bahkan, mirisnya, orang-orang yang sama sekali tidak ada basic arsitektur samasekali. Termasuk gue, ya gue hanya lulusan arsitektur.

Perang harga ternyata cukup mengacaukan penghargaan terhadap usaha seorang desainer. Tapi untuk saudara-saudara gue, kalem lah ya. Selalu berlalu berlaku 'ada rupa ada harga'. Harga Rp 7.500,00 tentu akan memunculkan karya yang 'copy-paste' dari kasus lain lalu dimasukkan ke kasus yang bersangkutan. Yaah, edit-edit dikit lah. 

Ketahuilah, beda daerah, beda kasus, beda pula penyelesaiannya. Arsitektur bukan bidang hapalan. Tapi bidang programming yang melingkupi penelusuran masalah (analisis secara fisik dan non-fisik dll) didalam dan luar site, dan designing yang melingkupi proses kreatif yang solutif. Kegiatan tersebut tidak semudah yang terlihat. Inget, ada kualitas ada harga. Semakin murah lo bayar, semakin rendah kualitasnya, karena semakin banyak variabel yang diabaikan dalam proses desainnya. Jadi jangan bangga bisa bayar murah. Dan selamat, dengan membayar murah, lo turut andil dalam perusakan dan penambahan masalah lingkungan, baik alam maupun sosial, dan mungkin juga, budaya. 

Jangankan rumah tinggal, bangunan yang lebih besar sekalipun sering mengalami cacat. Nama yang tercantum sebagai tenaga ahli, bukanlah desainer yang sebenarnya. Nama itu cuma disewa untuk satu proyek itu dengan harga yang sudah ditentukan/disepakati, lalu si 'awam' lah yang membuat desainnya. Dunia keras, bung. Kalo gak pinter ya dipinterin. Mirisnya, kebanyakan orang bukannya tidak tahu hal ini, tapi pura-pura tidak tahu. Motifnya, bayar orang 'awam' atau 'baru', lebih murah daripada membayar tenaga ahli. Nice, kan? Si tenaga ahli juga selow aja. Jelas lah, dia gak kerja tapi dapat duit juga hanya dengan 'menjual nama'.

* * * * *

Sebenarnya masih banyak yang bisa dibahas disini kalau saja gue lebih banyak lagi membaca dan tau situasi. Tapi gue pikir, segini aja udah cukup bikin kita geleng-geleng karena kemunafikan yang disengaja maupun tidak disengaja. Kapan-kapan gue lanjutin lagi deh.

Dari pembahasan tersebut, pertanyaannya, benarkah profesi arsitek itu dibutuhkan oleh bumi? Bila secara normawi seperti itu, apa yang menyebabkan tidak teraplikasi pada kenyataan? Lalu mengapa setelah dibahas dalam jurnal-jurnal (bahkan tesis yang sudah bersifat 'kebenaran') yang merupakan hasil penelitian para cendekiawan (dalam hal ini, segala bidang yang terkait pada permasalahan arsitektur) kita, tetap tidak mengubah kenyataan?

* * * * *

Ini quote yang pernah gue denger yang berkaitan dengan postingan ini :

"Arsitek mengurusi 1 dimensi (pengguna), 2 dimensi (bidang), 3 dimensi (bangunan) dan 4 dimensi (sosial budaya)"
-Dr. Ir. Djoko Wijono, M.Arch.

"Semakin banyak yang kita tahu, kita semakin tahu bahwa banyak yang belum kita tahu."
-Ir. T. Yoyok Wahyu S. M.Eng., Ph.D.

"Tidak ada yang baik, jika kita tahu ada yang lebih baik."
-Ir. T. Yoyok Wahyu S. M.Eng., Ph.D.

"Pada prinsipnya, 'teori' itu bersifat dan berlaku 'lokal'."
-Prof. Dr. Ir. Sudaryono, M.Eng.

* * * * *

Dwindown, 2014

image source:
http://www.bunnyfoot.com/images/diagrams/approach-ucd-diagram.png

You Might Also Like

1 comments

  1. fasilitas publik yang diprivatisasi. bener banget nih, kekuatan financial emang bisa bikin fasilitas publik jadi milik pribadi

    BalasHapus