Peran : Agent of Change
Kamis, Oktober 16, 2014
Aku menertawaimu seperti tertawa kepada diriku
Tiada yang berbeda
Hanya tahun
Kepadamu aku berkata
"Bukankah pikiran hanyalah persepsi dari refleksi minimnya referensi?"
Kepadamu aku bertanya
"Dan bukankah benar adalah sesumbar yang menyebar?"
Malam ini, malam ini kutatatap kalian seperti kutatap diriku
Ku ingatkan kalian seperti diriku tak pernah mengingat
Kaliaaaaan!!!
Hanya tahu apa yang kalian lihat
Menghakimi yang kalian bicarakan
Mengendus setiap isu dan tanpa mau mendengar
Mati hati
Aku adalah perwujudan dari kebencian dan cinta kasih
Rasa sakit dan rasa nyaman
Rasa haus dan rasa lapar
Aku bukan kau, kau belum tentu aku
Aku bukan kau, kau belum tentu aku
Aku bukan kau, kau belum tentu aku
Belum
Army Wiratama, 10 Oktober 2014
(ig/twitter: @armywiratama)
Yap, peran. Kata Ahmad Albar, "dunia ini panggung sandirwara". Peran apa yang lo lakoni? Peran yang kocak bikin orang terbahak-bahak, sedangkan peran bercinta bikin orang mabuk kepayang. Apa selain keduanya? Peran menyebalkan atau peran yang apatis terhadap isu? Atau menyebarluaskan isu tanpa ilmu dan kebenaran?
Dalam postingan ini, gue akan mengerucutkan pembahasan di peran mahasiswa saja. Berhubung status gue kembali menjadi mahasiswa, untuk yang kedua kalinya. Mahasiswa. Bagaimana peran mahasiswa seharusnya?
Agent of Change
Dari zaman gue ikut ospek di tahun 2007 juga, gue udah hapal frase ini. Agent of Change. 'Agen Perubahan' yang dimaksud adalah peran yang berada diantara masyarakat dan pemerintah. Menjadi penyampai aspirasi rakyat. Merumuskan suatu perubahan demi menjawab keresahan atau kesulitan masyarakat, lalu menyampaikannya pada petinggi daerah untuk melaksanakannya secara resmi. Ikut andil dalam merancang kehidupan masyarakat untuk lebih baik lagi.
Aduh, terlalu muluk ya. Lihat mahasiswa sekarang. Jangankan masyarakat, hidupnya sendiri saja males diurus. Akhirnya mereka hanya mengurus hidup sendiri. Masyarakat, nanti dulu. Banyak yang memilih untuk hidup ber-gank daripada bersosial secara luas. Ada sedikit perbedaan paham atau pendapat, langsung membuat golongan sendiri. Membedakan diri dan mengasingkan orang lain yang tidak sepaham. Agent of Change, seharusnya memiliki kemampuan komunikasi dan interaksi yang baik dalam bersosial dan bermasyarakat. Dari situ, kepekaan terhadap isu masyarakat semakin tajam. Sehingga, setidaknya memiliki kreatifitas yang mumpuni untuk menjawab kebutuhan yang semakin banyak.
Anak muda. Inovasi apa yang tercipta dari kreasi anak muda sekarang? Mobil Esemka? Melihat sifat konsumtif masyarakat Indonesia, rasanya kita tidak membutuhkan mobil yang murah. Sedangkan harga mobil impor yang selangit saja, kota-kota di Indonesia sudah mengalami kepadatan yang melampaui batas wajar. Macet dimana-mana. Kota yang dulu anti-macet, sekarang sudah menjadi tempat yang hiruk pikuk oleh polusi sana sini. Kota Yogyakarta yang damai, kini menjadi sesak karena banyaknya kendaraan yang ada. Kesimpulan gue, munculnya mobil murah bukanlah solusi, namun masalah baru.
Anak muda. Inovasi apa yang tercipta dari kreasi anak muda sekarang? Mobil Esemka? Melihat sifat konsumtif masyarakat Indonesia, rasanya kita tidak membutuhkan mobil yang murah. Sedangkan harga mobil impor yang selangit saja, kota-kota di Indonesia sudah mengalami kepadatan yang melampaui batas wajar. Macet dimana-mana. Kota yang dulu anti-macet, sekarang sudah menjadi tempat yang hiruk pikuk oleh polusi sana sini. Kota Yogyakarta yang damai, kini menjadi sesak karena banyaknya kendaraan yang ada. Kesimpulan gue, munculnya mobil murah bukanlah solusi, namun masalah baru.
Melihat kenyataan yang ada (lagi), mahasiswa yang notabene adalah anak muda, justru menjadi hasil cetakan para tetua. Orang yang lebih tua menjadi loyang cetakan yang nantinya akan menampung para anak muda yang siap dicetak. Seperti jelly yang siap untuk di bentuk. Sedikit sekali yang bisa atau mau membuat bentuk untuk dirinya sendiri. Padahal 'bentuk' itu adalah karakter pribadinya masing-masing. Jangankan untuk merumuskan suatu perubahan, berkumpul saja sudah hampir tidak pernah. Kuliah sudah seperti sekolah. Masuk kelas, jam istrirahat ke kantin, dan pulang. Mengerjakan tugas dan tidur. Perubahan apa yang diharapkan dari mahasiswa yang seperti ini? Tidak ada. Mereka tidak berinovasi demi sebuah solusi. Mereka adalah konsumen, mereka adalah pengguna, mereka adalah pengikut. Tidak ada kepercayaan diri untuk menjadi center dan tidak mampu memiliki keputusan pribadi. Keputusan mayoritas lingkungan, merupakan keputusan yang akan ia ikuti.
Agent of Change, identik dengan berdemonstrasi? Rasanya tidak. Jangankan demo, diatur dosen aja nurut walaupun sadar itu tidak sesuai dengan nuraninya. Takut sama ancaman sanksi akademik (DO atau tidak mendapat nilai atau IPK anjlok). Bagaimana rasanya menjadi mahasiswa yang vokal saat zaman orde baru? Mereka sampai melarikan diri keluar negeri. Memikirkan IPK? Tidak. Memikirkan nyawanya yang terancam karena membela aspirasi masyarakat dan menawarkan perubahan.
Mahasiswa. Ya, gue bertemu dengan sekelompok mahasiswa baru tahun lalu. Gue datang sebagai alumni. Pertanyaan yang sering gue dapat adalah "Kerja dimana, Bang?". 'Dimana' ini berkonotasi sebuah kantor yang sudah memiliki sistem organisasi kompleks, seperti kantor pemerintah, atau perusahaan besar swasta. Jawaban seperti apa sih yang diharapkan? Mindset sudah berpatok pada "mencari kerja".
Sarjana. Bukankah dengan menjadi sarjana nantinya diharapkan dapat berguna bagi masyarakat luas? Menjadi orang berpendidikan untuk menaungi orang-orang yang kurang beruntung dan tidak berpendidikan. Berpendidikan, cerdas, untuk mencerdaskan yang kurang cerdas, untuk menyadarkan yang belum sadar, untuk menguntungkan yang belum beruntung. Sekitar Faktanya, sarjana berebut lowongan pekerjaan dengan orang-orang yang tidak bersekolah. Bahkan, banyak dua dekade yag lalu, menjadi sarjana adalah suatu kebanggaan dan diandalkan oleh masyarakat. Faktanya, kini sarjana juga ikut menganggur dan ijazah S1 seakan tidak berharga lagi. Entah karena semakin mudahnya lulus dari pendidikan S1 yang mengakibatkan menumpuknya jumlah sarjana, atau karena percepatan durasi pendidikan S1 yang membuat otak para sarjana yang lulus pas-pasan (atau minus). Ada apa? Mengapa menganggur? Terjadi kekurangan lapangan pekerjaan? Mengapa tidak menciptakan lapangan pekerjaan baru dan mempekerjakan orang-orang yang tidak bersekolah tersebut?
Agent of Change (sekali lagi), bukan hanya tentang 'perubahan' pada diri sendiri. Mahasiswa, adalah hasil transformasi dengan berbagai adaptasi dalam transisinya dari status siswa. Menyandang kata 'maha' yang berarti 'sangat', 'amat', 'teramat' (kbbi.web.id;2014). Gue menemukan ada seorang mahasiswa S2 (yang menyandang status 'mahasiswa' yang kedua kalinya) yang tidak mengetahui apa perbedaan antara 'siswa' dan 'mahasiswa', juga perbedaan 'guru' dan 'dosen'. Bagaimana dia dapat mengkader adik-adiknya untuk menjadi Agent of Change? Dia sendiri, bukan seorang kader. Melihat kenyataan seperti ini, gue menyimpulkan, bahwa menjadi agen perubahan bukanlah pilihan, namun keharusan.
Pertanyaannya :
Mahasiswa. Ya, gue bertemu dengan sekelompok mahasiswa baru tahun lalu. Gue datang sebagai alumni. Pertanyaan yang sering gue dapat adalah "Kerja dimana, Bang?". 'Dimana' ini berkonotasi sebuah kantor yang sudah memiliki sistem organisasi kompleks, seperti kantor pemerintah, atau perusahaan besar swasta. Jawaban seperti apa sih yang diharapkan? Mindset sudah berpatok pada "mencari kerja".
Sarjana. Bukankah dengan menjadi sarjana nantinya diharapkan dapat berguna bagi masyarakat luas? Menjadi orang berpendidikan untuk menaungi orang-orang yang kurang beruntung dan tidak berpendidikan. Berpendidikan, cerdas, untuk mencerdaskan yang kurang cerdas, untuk menyadarkan yang belum sadar, untuk menguntungkan yang belum beruntung. Sekitar Faktanya, sarjana berebut lowongan pekerjaan dengan orang-orang yang tidak bersekolah. Bahkan, banyak dua dekade yag lalu, menjadi sarjana adalah suatu kebanggaan dan diandalkan oleh masyarakat. Faktanya, kini sarjana juga ikut menganggur dan ijazah S1 seakan tidak berharga lagi. Entah karena semakin mudahnya lulus dari pendidikan S1 yang mengakibatkan menumpuknya jumlah sarjana, atau karena percepatan durasi pendidikan S1 yang membuat otak para sarjana yang lulus pas-pasan (atau minus). Ada apa? Mengapa menganggur? Terjadi kekurangan lapangan pekerjaan? Mengapa tidak menciptakan lapangan pekerjaan baru dan mempekerjakan orang-orang yang tidak bersekolah tersebut?
Agent of Change (sekali lagi), bukan hanya tentang 'perubahan' pada diri sendiri. Mahasiswa, adalah hasil transformasi dengan berbagai adaptasi dalam transisinya dari status siswa. Menyandang kata 'maha' yang berarti 'sangat', 'amat', 'teramat' (kbbi.web.id;2014). Gue menemukan ada seorang mahasiswa S2 (yang menyandang status 'mahasiswa' yang kedua kalinya) yang tidak mengetahui apa perbedaan antara 'siswa' dan 'mahasiswa', juga perbedaan 'guru' dan 'dosen'. Bagaimana dia dapat mengkader adik-adiknya untuk menjadi Agent of Change? Dia sendiri, bukan seorang kader. Melihat kenyataan seperti ini, gue menyimpulkan, bahwa menjadi agen perubahan bukanlah pilihan, namun keharusan.
Pertanyaannya :
- Apa lo sudah berhasil melewati transisi dari siswa ke mahasiswa?
- Bila sudah, apa lo sudah mulai merancang suatu perubahan (apapun itu)?
- Apa lo sudah mulai memikirkan sesuatu yang bermanfaat untuk orang banyak?
Tidak usah muluk-muluk sampai ke penciptaan/ pelaksanaan konsep, minimal sudah ada konsep perubahan dalam benak lo masing-masing. Peka terhadap permasalahan sosial, mengetahui kebutuhan yang belum terpenuhi, lalu menjawabnya dengan konsep rancangan yang membawa perubahan kearah yang lebih baik. Suatu perubahan selalu membutuhkan tokoh yang diperankan oleh seseorang/ suatu pihak. Juga suatu perubahan, tidak akan terjadi bila tidak ada dukungan dari lingkungan. Apakah lo sanggup memerani sebagai the Agent of Change itu? Apa lo sanggup mendapat dukungan lingkungan dengan visi-visi lo? Jawab untuk diri lo sendiri.
* * * * *
Dwindown, 2014
Image source:
http://www.simplyliving.org/sites/default/files/smallest%20handprint.jpg
0 comments