Gue baru aja nonton di youtube, yaitu tayangan Nusron Wahid dan Retorikanya bicara membela Ahok, berkata-kata tentang Al-Maidah 51 dan sejarah penunjukan pemimpin Non-Islam yang pernah dilakukan pada masa Bani Abbasiyah, Khalifah Abbasiyah ke 16 yaitu Sultan Al-Mu'tadhid Billah pernah mengangkat seorang Kristen taat bernama 'Umar bin Yusuf menjadi gubernur di Al-Anbar, Irak.
Sebelum gue berkata-kata lebih banyak soal Nusron Wahid, gue mau pastikan bahwa postingan ini tidak ada kaitannya pembelaan atau pertentangan antara gue dan Ahok, jadi gak usah komentar OOT kayak user instagram sarjana 101 seperti yang gue sebut di Netizen dan Kehidupan di Republik Internet. Yang gue bahas disini adalah Nusron Wahid dan Retorikanya.
Sekali play video tersebut, gue mendapatkan banyak kata-kata yang sepertinya, sekali lagi sepertinya, mengada-ada. Gue akan mengurutkan satu persatu.
"Islam SELALU ramai karena 2 hal, Salah Paham atau Pahamnya salah"
Bisa membedakan antara keduanya? Jujur gue belum sepenuhnya bisa. Tapi kalau di breakdown satu persatu, dimulai dari "Islam selalu ramai". Iya kah? Gak selalu juga. Justru non-islam yang bikin islam jadi rame. Seringnya sih gitu. Salah paham? Ya, memang. Gak bisa dipungkiri. Tapi itu karena ada banyak pihak yang menyalahpahamkan Islam dengan provokasi, dan akhirnya bentrok. Maklum lah, namanya agama terbesar di dunia, sedangkan selebgram aja yang gak seberapa punya haters kok, apalagi Islam. Pahamnya salah, ya memang, Agama-agama besar di dunia selalu punya kaum yang berpaham salah. Mbok jangan tanggung-tanggung, yang berpaham menyalah-nyalahkan juga ada Pak Nusron. Hehehe.
"Yang namanya teks apapun, itu bebas tafsir, bebas makna."
Ya justru itu, berarti semua orang bebas menafsirkan, gitu? Kok situ sewot, Pak?
Stephen Ullman (1977), dalam bukunya Semantics, An Introduction to The Science of Meaning yang diadaptasi oleh Sumarmono, mengutip kata-kata seorang ahli semantik yang bernama G. Stern, "kita tidak bisa berlari dari kenyataan bahwa sesuatu kata tentu mempunyai makna tetap, bahwa kata-kata itu benar mengacu kepada suatu acuan tertentu, dan bukan kepada yang lain, dan bahwa karakteristik ini merupakan dasar kokoh semua komunikasi."G.Stern itu ngomongin kata yang secara global aja memiliki makna tertentu, masa sebagai umat Islam malah meragukan adanya makna tetap yang terkandung dalam setiap kata, ayat, surat Al-Qur'an?
Setiap kata memang bebas ditafsirkan seperti apa, dan memiliki potensi bermakna positif maupun negatif, sebagaimana yang dituliskan Yasraf Amir Piliang (2003) dalam bukunya Hipersemiotika :Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, bahwa ada kecenderungan penerapan hipersemiotika secara ekstrim di dalam wacana posmoderinsme, yaitu berupa permainan bebas penanda (free play of signifier) - dengan mengorbankan petanda dan makna, yang berujung dengan kematian petanda dan makna (the death of signified). Kayaknya kecenderungan ini yang membuat makna tetap itu dimatikan untuk kemudian dikembangkan dalam wacana posmodernisme lainnya yaitu dekonstruksi, yang Derrida jelaskan sebagai sebuah bentuk pencairan, peleburan, atau pembongkaran terhadap berbagai konvensi sosial, konsensus moral, kode kultural, makna transendental, atau kebenaran ilahiah yang sebelumnya disepakati bersama (Piliang, 2003). Nah, pencairan pada tingkat moral ini yang melenyapkan batas-batas mengenai benar/salah, boleh/tak boleh, pantas/tak pantas, patut/tak patut, yang ujung-ujungnya tercipta sebuah dunia yang tanpa tabir pembatas, yaitu dunia ketelanjangan. Dunia tersebut adalah dunia yang di dalamnya tidak ada lagi batas-batas moral. Inikah dunia yang diinginkan Pak Nusron dengan mengabaikan "makna tetap" dalam Al-Quran?
NB : Gue gak bahas tafsir Al-Quran Surat Al-Maidah 51 mana yang benar atau salah, tapi gue membahas keberpihakan Nusron dalam "bebas tafsir" yang digadang-gadangkannya
"Al-Quran ditafsirkan sempurna hanya oleh Allah dan Rasul"
Nusron menganalogikan kata-kata tersebut dengan "yang tau makna puisinya Taufik Ismail, ya Taufik Ismail" dengan argumen adanya proses kreatif ketika menciptakan puisi tersebut. Yang jadi pertanyaan gue, emangnya Rasul ikutan create Al-Quran ya? Ajaran mana yang bilang kayak gitu? Sejak kapan Rasul berfirman? Yaudahlah, lanjut aja ya.
Setelah gue cek lagi di beberapa artikel islami, ini yang gue temukan :
Sesungguhnya al-Qur’ân diturunkan oleh Dzat yang mengetahui segala sesuatu. Rabb yang ilmu-Nya meliputi segala yang terkandung dalam hati manusia, Maha mengetahui makna-makna yang terkandung dalam al-Qur’an, mengetahui segala yang mengiringi atau yang mendahului makna-makna itu serta mengetahui segala yang terkait dengannya. Oleh karena itulah, para Ulama sepakat untuk berdalil dengan menggunakan konsekuensi makna pada setiap firman Allah Azza wa Jalla .
Metode untuk menerapkan kaidah ini yaitu (pertama-red) dengan memahami makna-makna yang ditunjukkan oleh teks ayat. Apabila telah dipahami dengan baik, maka (kedua-red) harus dipikirkan segala yang terkait dengan makna tersebut, sarana-sarana untuk mewujudkannya serta syarat-syaratnya. Juga harus dipikirkan akibat-akibatnya, karena segala yang muncul darinya juga yang akan terbangun di atasnya. Dengan konsisten pada unsur-unsur di atas, maka akan memiliki kemampuan yang baik untuk menyelami makna-makna itu dengan detail. Sesungguhnya al-Qur’ân itu haq; maka konsekuensi dari sesuatu yang haq itu adalah haq; segala yang terkait dengan sesuatu yang haq juga haq; cabang dari sesuatu yang haq itu juga haq. Barangsiapa yang diberi hidayah oleh Allah Azza wa Jalla untuk menempuh metode ini, berarti telah terbuka baginya ilmu-ilmu yang bermanfaat dan pengetahuan yang sangat agung.
Sumber: https://almanhaj.or.id/3645-orang-yang-hendak-menafsirkan-al-quran.html
Nah, tuh, gimana pak Nusron? Hidayah itu multitafsir yang gak perlu kita sebut-sebut dalam konteks ini? Sekarang yang gue bisa simpulkan, Memang Allah yang Maha Tahu apa makna yang terkandung dalam Al-Qur'an, tapi ada potensi dan kesempatan bagi manusia untuk dapat kemampuan yang baik untuk mengerti dan menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan baik bagi yang diberi hidayah. Mau dipungkiri? Ya gapapa, itu kan hak ente Pak. Hehe.
Multi-Interpretasi VS Tabayyun
Yang namanya tanda dan makna kan punya sifat arbitrer (kesemena-menaan) dalam interpretasinya. Puisinya Taufik Ismail juga bebas kok diinterpretasikan seperti apa. Kita gak bisa menahan orang untuk gak berinterpretasi, karena semua orang punya persepsi dan itu dipengaruhi oleh kognisi masing-masing orang tergantung sudut pandang, kebiasaan, wawasan dan lingkungannya.
Berinterpretasi itu wajar, namanya makhluk punya otak pasti akan memberikan reaksi, minimal dengan berfikir. Nah kesemena-menaan interpretasi ini membahayakan pikiran kita (su'udzon) dan berpotensi memecah keharmonisan umat, baru diperintahkan untuk tabayyun, yaitu mencari kejelasan suatu berita. Jadi jangan salahkan Multi-Interpretasinya, karena semua hal di dunia ini bisa dibuat multi tafsir dan multi interpretasi, tapi salahkan kaum yang tidak bertabayyun.
"Sejarah membuktikan, tidak ngarang, seorang Kristen taat ditunjuk jadi gubernur ...."
Oke karena sebelumnya gue udah setuju dengan tabayyun, maka gue bertabayyun demi kalimat ini. Gue gak percaya sebuah berita cuma dengan kata-kata sejarah membuktikan dan peyakinan dengan tidak ngarang. Yuk bertabayyun ama kang Google.
Ampun dah, kayaknya gue masih terlalu cupu dalam menggunakan google untuk nyari-nyari kayak gini. Plis men, siapa aja, tolong kasih gue data, kasih gue buku sejarah, atau artikel dengan sumber yang jelas, jurnal berbahasa indonesia atau inggris yang menceritakan soal Khalifah Sultan Al-Mu'tadhid Billah mengangkat Umar Bin Yusuf menjadi Gubernur Al-Anbari, Iraq!!! PLEASE, INI URGENT!!! GUE GAGAL TABAYYUN!!! #frustrasi #noclues
"Dalam konteks pengambilan keputusan, ada konsensus bersama"
Lengkapnya begini beliau bilang "Indonesia ini negara Pancasila. Namanya pancasila itu, hukum-hukum Islam, syariat Islam, adalah harus kita hormati dalam konteks ranah PRIVAT. Dalam konteks pengambilan keputusan, ada konsensus BERSAMA, yang namanya Pancasila itu."
Setelah ber-tabayyun, itu bukan yang namanya pancasila pak. "Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama" itu salah satu butir yang ada di sila ke-4. Jadi bukan itu bukan keseluruhan pancasila, melainnya hanya salah satu butir di pancasila, sila ke-4.
Islam dihormati dalam konteks PRIVAT, hmmmmm, bukannya Islam itu sudah mengatur kita dari bangun sampai tidur kembali? Segitu detailnya Islam, dari yang sifatnya privat sampai yang sifatnya publik. Bekerjasama, toleransi, tenggangrasa, berbuat baik, menolong non-islam itu kan diajarkan di Islam. Termasuk musyawarah, seperti yang dituliskan Wahyuddin dalam buku Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi, bahwa adanya demokrasi dalam Islam, salah satunya musyawarah. Di buku tersebut dijelaskan banyak perhatian diberikan pada aspek khusus dari ranah sosial dan politik. Demokrasi Islam dianggap sebagai sistem yang mengukuhkan konsep-konsep Islami yang sudah lama berakar, yaitu musyawarah, konsensus (ijma') dan ijtihad.
Islam sudah kukuh dengan konsep musyawarah (yang jelas untuk PUBLIK), terus Pak Nusron bilang kita hormati Islam hanya dalam konteks ranah PRIVAT, dan ikut Pancasila dengan musyawarahnya??? Duh, kalimat-kalimat Pak Nusron sendiri saling kontradiktif. Maksudnya bagaimana sih pak? Islam ama Pancasila sama-sama musyawarah, sebagai umat Islam, kenapa Islamnya di-privat-kan sedangkan Pancasila diagungkan? Ini jadi gak adil dong antara agama dan bangsa. Gue jadi inget doa orang-orang tua yang berharap anaknya berguna bagi nusa, bangsa dan agama. Kalau gini sih jadi berguna bagi nusa dan bangsa aja dong.
"Hentikan ayat-ayat untuk berpolitik dan menjustifikasi orang, karena ini negara pancasila"
Dari cara bicara ente sih kayaknya ente ngomongin diri sendiri Pak.. Islam mengatur keseluruhan kehidupan kita, termasuk berpolitik sekalipun. Sepanjang Nusron ngomong juga berapa kali bawa-bawa hadist, untuk membenarkan seseorang kan? Bukankah itu politik?
Aduh, masih mengganjal, GUE MASIH GAGAL TABAYYUN SOAL BANI ABBASIYAH, HELP ME PLEASE!!!
* * * * *
Wallahu a'lam bishawab
* * * * *
Dwindown, 2016