Apa Adanya Vs Pencitraan
Minggu, Januari 25, 2015
Hi all. Sambil ngerender animasi, daripada bete nunggu,
mendingan gue nulis, ya gak?
Gue tertarik untuk membahas soal “apa adanya” dalam suatu
relationship. Baik itu friendship, loveship, maupun bullship (itu sih bullsh*t
ya). Kita sering dengar “apa adanya”, “ala kadarnya”. Namun kalau kita sadari,
sepertinya banyak banget yang memanfaatkan frase itu untuk menjadi bahan
berbohong, atau, sarkasme. Biasanya sih untuk pencitraan untuk nunjukin “inilah
gue”, “gue kayak gini lho orangnya”. Atau bisa dibilang, orang yang “apa
adanya” itu sebenarnya semakin langka. Hehehehehe.
Yang pertama ini, gendernya cowok. Sebut aja namanya Jono
(maap buat lo yang namanya sama). Si Jono ini, tiap main kerumah gue selalu
punya cerita “pencapaian”nya. Dia selalu punya cerita untuk menaikkan
derajatnya sendiri. Misalnya, kemarin dia bilang bisnis konveksi dan lagi laku
di desain-desain kaos bola. Next time,
dia cerita bahwa dia sudah tunangan dengan pacarnya yang di Jakarta. Next, ceritanya sekarang dia udah punya
kerjasama dibidang pemrograman aplikasi android. Terus, dia cerita juga kalau
sekarang dia narik ortunya ke Yogyakarta karena sudah pensiun. Pertanyaan dari
nyokap gue gak pernah berubah, “kapan lulusnya Jon?” dan dijawab dengan
berbagai jenis jawaban, tapi yang sering diulang-ulang adalah “tinggal sidang
aja tante”. Padahal dua semester lalu, dia juga bilang “tinggal sidang” tuh. Ow man, gagal pencitraan kalau dia
mengharapkan citra sukses melekat dalam dirinya.
Yang kedua, cewek aja deh. Sebut aja namanya Mawar, dan dia
bukan korban pemerkosaan. Sekali lagi, bukan. Doi cerita banyak hal ke gue. Dia
cerita tentang cowoknya, tapi posisi berdirinya makin lama makin mepet ke gue.
Hahahaha. Lalu cerita pula tentang vila yang dimiliki keluarganya disana-sini,
fans fanatiknya yang begitu banyak, dikejar-kejar duda, dikejar tante-tante
mucikari karena katanya bodi doi bagus, dan masih banyak lagi. Ini mungkin mau
ciptain image bahwa dia cewek “macan
semok”, alias manis cantik seksi dan montok. Duren montong kali. Sayangnya gue
gak liat dia sekece itu sampe gue harus nampung liur gue pake baskom gara2
ngeces kena pesona dia. Hehehehe.
Jangan dikira hal ini
sepele. Lo tau dong, sekali lo bohong (apapun alasan atau tujuannya) lo bakal
terus bohong untuk menutupi kebohongan yang sebelumnya. Mau sampai kapan?
Jangan remehin roda waktu men. Waktu itu menentukan semuanya. Semua
probabilitas bakal knock out kalau
dihadapkan dengan waktu. Segala jenis kebohongan akan kandas dan terbongkar
ketika waktu mulai menguaknya sedikit demi sedikit. Apa lo gak malu ntar kalau
ketahuan bohong? Ya kalau malu doang sih mending. Bayangin kalau lo harus
menghadapi kenyataan bahwa lo kena hukuman sosial. Aduh men, bisa-bisa lo mikir
untuk bunuh diri, karena tingkah lo sendiri.
Kembali dengan frase “apa adanya”. Ya jujur aja lah dengan
kondisi lo. Gue udah buktiin diberbagai situasi, kejujuran memang jauh lebih
baik daripada harus mengada-ada. Men, lo bayangin belingsatannya kalau “di-test”
ama orang untuk kebenaran yang udah lo akui.
Contohnya nih, nyokap gue, di acara arisannya, ada ibu-ibu
yang cerita kalau menjadi penyumbang di pembangunan masjid, sumbang ke panti jomblo
jompo, terus panti asuhan, panti pijet, panti ini itu segala macem. Nah nyokap
gue kan orangnya gak ambil ribet. Berhubung ada dermawan, berarti kan bisa jadi
donatur anak-anak yang membutuhkan disekitar area rumah gue. Tapi kenyataannya,
begitu ditawari untuk jadi donatur/dermawan, jawabannya malah, “Wah Bu, saya
lagi kumpulin uang untuk bangun masjid disana, panti sini, dan blablablabla.”
Gak salah sih, tapi secara logika, kalau memang beliau sedermawan itu,
setidaknya “Ini Bu, sementara saya titip 200ribu dulu ya, soalnya saya masih
mengumpulkan uang untuk pembangunan masjid blablablabla…” bukannya langsung
menolak. Imbasnya, nyokap gue malah di suggest
untuk minta dana ke departemen sosial segala. Ribet.
Poin gue kembali lagi soal “apa adanya”. Untuk apa sih
mengada-ada demi pencitraan. Kalau itu bukan lo banget, ya jangan dicoba
apalagi ngaku-ngaku. Mungkin lo bakal capek sendiri, lalu ketauan, terus
tengsin, ujung-ujungnya malu sendiri dan omongan jelek bermunculan. Bukannya
citra baik yang didapat, malah citra buruk. Cepat atau lambat itu bakal terjadi
kok. Jadi, lo masih mau ngaku-ngaku demi pencitraan atau apa adanya dengan jadi
diri lo sendiri? Itu pilihan lo.
* * * * *
Dwindown, 2015
Image Source:
http://dontkillsolar.com/tusk/wp-content/uploads/2014/04/Fr-Justin-Belitz.jpg
0 comments